Tambang Batu Bara Biang Banjir Harus Ditutup!

Bengkulu Tengah, Beritaterbit.com – Aktivitas pertambangan Batu Bara yang terjadi di kawasan hulu, yakni Kabupaten Bengkulu Tengah diklaim sebagai salah satu penyebab terjadi banjir.

“Banjir yang melanda hampir seluruh wilayah kabupaten dan kota di Provinsi Bengkulu tidak bisa hanya ditimpakan pada hujan yang mengguyur daerah ini, debit air yang tidak mampu ditampung oleh sungai-sungai yang ada seharusnya menjadi poin perhatian utama untuk mencari akar masalah dari bencana banjir,” kata Ali Akbar, Direktur Kanopi dalam keterangan rilisnya.

Akibat banjir, tercatat hingga Rabu 1 Mei 2019, korban sebanyak 30 orang meninggal dunia dan ribuan mengungsi. Hingga saat ini, tercatat kerugian materi mencapai Rp 144 miliar.

“Sungai Bengkulu, Sungai Ketahun, Manna dan Sungai Musi yang merupakan sungai penting dengan fungsi utama sebagai penampung air, kewalahan menampung air yang bertubi-tubi mengalir ke badan sungai. Luapan air akhirnya menjadi mesin pembunuh sumber penghidupan rakyat. Bahkan luapan Sungai Bengkulu dan anak sungainya juga menggenangi sejumlah desa di Bengkulu Tengah seperti Desa Talang Empat, Desa Genting dan Bang Haji. Begitu pula desa-desa sekitar Sungai Musi yang membuat jalur utama menghubungkan Kepahiang-Bengkulu Tengah-Kota Bengkulu lumpuh beberapa saat,” paparnya.

“Apa yang terjadi di daerah penyangga sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS)? Ini yang seharusnya menjadi fokus perhatian. Bagaimana banjir ini bisa terjadi dan kaitannya dengan rusaknya hutan di hulu akibat pertambangan batu bara? Kawasan penyangga DAS Sungai Bengkulu di wilayah Kabupaten Bengkulu Tengah telah habis dikapling untuk pertambangan batu bara dan perkebunan sawit,” ungkap Ali.

Dijelaskan Ali, saat ini tercatat ada delapan perusahaan tambang Batu Bara di hulu sungai.
Delapan perusahaan tambang batubara itu yakni:
1. PT Bengkulu Bio Energi,
2. PT usuma Raya Utama
3. PT Bara Mega Quantum
4. PT Inti Bara Perdana
5. PT Danau Mas Hitam
6. PT Ratu Samban Mining
7. PT Griya Pat Petulai
8. PT Cipta Buana Seraya

Total luas aktivitas pertambangan itu mencapai 19 ribu hektar.

Tak hanya perusahaan tambang, di  kawasan itu juga ada satu perusahaan perkebunan sawit milik PT Agriandalas yang juga berada di daerah tangkapan air Sungai Bengkulu.

“Kawasan itu sudah kehilangan fungsi ekologis. Padahal DAS Bengkulu yang sayangnya sebagaian besar berstatus area penggunaan lain padahal memiliki fungsi lindung mestinya dilestarikan untuk tata kelola air, tapi diberikan izin untuk areal pertambangan batu bara dan perkebunan kelapa sawit. Hutan lindung yang sedikit malah dibiarkan rusak,” sesalnya.

“Diketahui, DAS Bengkulu merupakan salah satu DAS terbesar di Provinsi Bengkulu dengan luas 51.951 hektare, mencakup dua kabupaten/kota yaitu Kabupaten Bengkulu Tengah dan Kota Bengkulu. Persoalan banjir di Bengkulu ini sebenarnya sudah jelas penyebabnya yaitu kerusakan parah di area DAS Bengkulu yang diberikan untuk konsesi tambang tapi tidak pernah dituntaskan oleh pihak berwenang dalam hal ini pemerintah daerah,” tegas Ali Akbar.

Laporan kondisi cuaca Bengkulu tertanggal 27 April 2019 pukul 18.00 WIB, berdasarkan citra satelit cuaca, sel awan yang berpotensi hujan dengan intensitas ringan berada disebagian wilayah di Kabupaten Lebong, Bengkulu Utara, Rejang Lebong dan juga dilaut. Wilayah selain yang disebutkan berkondisi berawan (Prakirawan-BMKG Bengkulu).

“Melihat kondisi diatas, dapat dipastikan banjir Bengkulu semakin parah akibat rusaknya hutan dibagian hulu akibat aktivitas tambang batu bara yang berakibat bencana ekologis berupa banjir dan longsor. Dari kondisi ini sangat mendesak bagi pemerintah untuk memetakan ulang kawasan lindung di hulu sungai Bengkulu dengan menghentikan seluruh aktivitas pertambangan Batu Bara di hulu DAS Bengkulu. Statusnya bisa area peruntukan lain tapi fungsi wilayah itu adalah lindung, tata kelola air, kalau tidak dituntaskan maka banjir akan terus berulang,” terang Ali.

“Lalu apa kaitannya antara banjir Bengkulu dengan PLTU batu bara Teluk Sepang, Kota Bengkulu? Dipastikan keberadaan PLTU batu bara yang merupakan sektor hilir pembakaran batu bara akan memicu dan melanggengkan kerusakan yang lebih parah di hulu Sungai Bengkulu. PLTU Batu Bara Teluk Sepang didirikan tanpa kajian dan kesesuaian tata ruang baik provinsi maupun kota. Dalam Perda Nomor 02 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Bengkulu tahun 2012-2032 dan Perda Nomor 14 tahun 2012 tentang RTRW Kota Bengkulu tahun 2012-2032, tidak ada rencana pembangunan PLTU batu bara di dalam Kota Bengkulu. Justru dalam perencanaan tata ruang, PLTU baru bara akan dibangun di Napal Putih, Kabupaten Bengkulu Utara. Hal ini tercantum dalam Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Bengkulu 2012-2023 pasal 23 ayat (1) huruf (d) bahwa pembangunan listrik pembangkit baru, meliputi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Napal Putih,” ulasnya.

“Pelanggaran tata ruang dengan dalih apapun jelas akan melanggar aturan hukum dan selain itu membuat perlakuan terhadap kaidah lingkungan menjadi amburadul,” pungkas Ali Akbar.

LSM tuntut Tambang Batu Bara ditutup

Direktur Jaringan Intelektual Manifesto Muda (JIMM) Heru Saputra meminta pemerintah segera bertindak tegas menutup aktivitas pertambangan yang beroperasi di Bengkulu Tengah dan Bengkulu Utara, sebab ditenggarai aktivitas tambang itu menjadi biang kerok banjir dan longsor. Heru menegaskan, jika aktivitas pertambangan dijalankan sesuai regulasi dan taat asas, tidak mungkin akan menyebabkan bencana.

“Ini pasti ada pelanggaran, jika aturan dipatuhi dan semua prosedur diikuti tidak mungkin menyebabkan bencana, ini pasti ada yang dilanggar, selama DPRD sudah berapa kali membentuk pansus tambang, namun hasilnya belum kelihatan, dengan kejadian bencana ini semoga membuka mata hati mereka para pemangku kebijakan,” terang Heru, Kamis (2/5/2019). (Rls)

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.