Negeri Lu-Shiangshe di Phã-mnalä-yû (1 dari 2 tulisan)

beritaterbit.com – Oleh Benny Hakim Benardie

Sebelum paparan sejarah ini coba dikuak, penulis kembali mengingatkan kita bersama, untuk tidak mengorbankan kebenaran fakta sejarah anak negeri itu sendiri. Persepsi keliru, sengaja atau tidak untuk tidak disambut dan dikembangkan sebagai “Pelestarian Kerancuan Sejarah Indonesia“. Ini pulalah salah satu penyebab mengapa banyak peneliti asing yang meragukan sumber-sumber dan keaslian “Sejarah Bangsa Indonesia“. Selain itu ketidak jelasan batas antara hostory dengan story.

Tulisan ini hanya mengulas kembali beberapa tulisan penulis di Tahun 2003, yang tersiar di Koran Semarak Bengkulu dan beberapa mass media lainnya, untuk kembali mengingat negeri yang ada namun terlupakan oleh masyarakat di Provinsi Bengkulu yang tercinta ini.

Sementara itu, anak negeri yang kini menjadi pengambil keputusan dan kebijakan, juga enggan melihat sejarah dan budaya yang ada. Mungkin hal ini secara politis tidak menguntungkan dan membutuhkan waktu relatif lama dalam pengkajiannya.

Phã-mnalä-yû
Kerajaan-kerajaan tertua di Pulau Sumatera umumnya menyebutkan dirinya sebagai kerajaan Phã-Mnalä-yë atau Phã-mnalä-yû. Ini sejak tahun 10 sebelum Masehi (sM) hingga abad ke-15 M. Nama Phã-mnalä-yû juga disinggung-singgung oleh Prapanca dalam syair Nagarakartagama pada Tahun 1365 M.

Pertanyaannya adalah, mengapa kerajaan-kerajaan di Sumatera menggunakan kata Phã-mnalä-yû? Sebelum menyebut nama kerajaannya (Kekuasaan) dan sebagai contoh, dapat kita lihat pada nama Kerajaan Phã-mnalä-yë Criviyaya (Sriwijaya), Phã-mnalä-yë Cri Indrapura, Phã-mnalä-yë Tulang Bawang. Hanya negeri/kerajaan Bengkulu Lu-Shiangshe (264 –195 sM) saja yang tidak memakai atau menggunakan kata Phã- Mnalä-yë didepan kata Lu-Shiangshe.
Pada beberapa literature dijelaskan, kata “Malayu” diambil dari akar kata Mnalä-yë. Dalam bahasa Ayodhya atau Ayoda artinya buah tasbih. Ayodhya adalah sebuah kota yang terletak di Utara Pradesh Tengah bagian Timur India. Kota inilah yang disebut-sebut dalam syair Ramayana sebagai negeri keramatnya bagi umat Hinddhu.
Kata Mnalä-yë itu selanjutnya mendapat imbuhan kata Phã atau Pha, yang diambil dari bahasa Hyunan Kuno (Cina Daratan). Pha artinya pulau atau daratan atau sawah atau hari kedelapan. Dengan demikian, kata itu sempurna menjadi kata Phã-Mnalä-yë atau Phã-mnalä-yû, yang jika diterjemahkan secara bebas berarti “Gugusan Pulau Bagaikan Untaian Tasbih” .

Tasbih yang dimaksud adalah salah satu alat yang sering digunakan dalam peribadatan pendeta umat Hinddhu. Kata inilah yang menjadi perumpamaan pada kata Nusa – Antara atau Antara – Nusa yang kita kenal sekarang dengan kata Nusantara atau Indonesia tercinta yang dijadikan sebagai Negara Kesatuan Kepulauan (Archipelagic State).

Dalam penulisan sejarah Indonesia, sering kita temui adanya perubahan makna. Tidak hanya kata Phã- Mnalä-yë atau Phã-mnalä-yû yang ditulis secara keliru tetapi juga arti kata-nya yang memiliki makna historis yang berbeda. Sebagai contoh yang terlanjur dan menjadi kata umum (Diartikan dan dibaca) kata Pha-Mnalä-yë Criviyaya yang sering ditulis dengan kata Phamalayu Sriwijaya atau kata Sriwijaya saja.

Kata Criviyaya dan Sriwijaya, merupakan dua kata yang memiliki arti yang sangat berbeda. Kata Criviyaya berarti negeri yang cantik atau indah dan kaya (Makmur) atau yang sering juga disebut orang dengan istilah “Gemah ripah loh jinawi“. Sedangkan kata Sriwijaya berarti negeri yang cantik atau indah dan kuat (Kuat angkatan perangnya).

Jaya berarti sukses, berhasil atau menang. Sebagai contoh dalam kalimat sebagai berikut: Kerajaan Tarumanagara berjaya menaklukan Phã-Mnalä-yë Criviyaya pada Tahun 683 M. Contoh lainnya: Maharajadiraja Phã-Mnalä-yë Cri Indrapurĕ Adityawarman melumatkan (Luluhlantak) Pha-Mnalä-yë Criviyaya pada Tahun 1357, 1377 M.

Kata Jaya ini pertama kali dipakai oleh pelaut (Angkatan Laut Kerajaan Tarumanagara) pada tahun 683 M, sewaktu menyerang Kerajaan Pha-Mnalä-yë Criviyaya. Kata itu ditulis diatas sepotong kayu huruf Pallawa bahasa Sangskerta pada perahu layar/Jung (Kapal Perang) Tarumanagara, berbunyi kata “Jälešveva Jayämahě“ terjemahan bebasnya adalah “Dilaut Kita Jaya“. Maksud kata-kata ini sebenarnya adalah “Tidak ada lautan yang tidak dapat ditaklukkan/ ditempuh/dilayari, dan tidak ada nagari yang tidak dapat dicapai“. Inti dari kalimat itu adalah harus berhasil dan menang.

Kata-kata ini tetap dipakai oleh pelaut-pelaut Sriwiyaya pada Jong-jong abad ke-8 hingga 11 M. Termasuk pada perahu-perahu Kerajaan Kalingga (Kalingä) dalam abad yang sama. Bahkan kata-kata Jälešveva Jayämahě yang merupakan falsafah Hinddhu ini, ada pula yang menuliskannya untuk dijadikan azimat pada kalung dan Tato.
Sebelum paparan sejarah ini coba dikuak, penulis kembali mengingatkan kita bersama, untuk tidak mengorbankan kebenaran fakta sejarah anak negeri itu sendiri. Persepsi keliru, sengaja atau tidak untuk tidak disambut dan dikembangkan sebagai “Pelestarian Kerancuan Sejarah Indonesia“. Ini pulalah salah satu penyebab mengapa banyak peneliti asing yang meragukan sumber-sumber dan keaslian “Sejarah Bangsa Indonesia“. Selain itu ketidak jelasan batas antara hostory dengan story.

Tujuh Negeri

Sebuah Kitab Ramayana yang ditemukan pada tahun 72 Masehi di Ajoda atau Ayodhya dan sebuah lagi kitab ditemukan di kota Benares (Kota suci di India) menyebutkan, adanya tujuh negeri dan dua daerah diantaranya adalah penghasil emas dan batu mulya. Negeri yang dimaksud adalah Lu-Shiangshe (Baca: Bengkulu), dan Phalimbham (Baca : Banten).

Pada buku Ramayana dikatakan, “Periksalah baik-baik Javadviva, yang mempunyai tujuh buah kerajaan, yaitu Pulau Emas dan Pulau Perak, negeri yang dihiasi pandai emas”. Tentang negeri Phalimbham dan Lu-Shiangshe khabarnya pulau itu amat subur. Tanahnya banyak mengandung emas, mempunyai ibu negeri bernama Perak Pada sebelah barat negeri terdapat sebuah penyeberangan (Yang dimaksud dalam Ramayana sebuah tempat penyeberangan dimaksud adalah Pulau Enggano atau nama lainnya OCOLORE.
Adapun tujuh kerajaan atau negeri dimaksud masing-masing adalah sebagai berikut :
1. Phalimbham (negeri yang berada di Provinsi Banten),
2. Lu-Shiangshe (negeri yang berada di Provinsi Bengkulu),
3. Chalava atau Tarumanagara (negeri yang berada di Provinsi DKI Jakarta),
4. Kutei (negeri yang berada di Kalimantan Timur
5. Phã-mnalä-yû Tulang Bawang di Provinsi Lampung.
6. Phã-mnalä-yû Crïviyäyâ (Sriwiyaya) di Provinsi Sumatera Selatan.
7. Phã-mnalä-yû Crï-Iňdrâpurä Miňangatämvàn di Provinsi Riau.
Jika mengacu kepada berita Ramayana ini, maka tampak jelas, bahwa di Nusantara sekurang-kurangnya pada awal tahun Masehi telah ada negeri, atau setidak-tidaknya telah ada tujuh pemangku adat atau kerajaan/negeri (Istilah kerajaan suatu kebiasaan orang-orang India klasik untuk menyebut nagari/negeri, sebagai mana tersebut diatas). Tujuh negeri yang diketahui dalam berita Ramayana dimaksud mungkin sekali adalah merupakan ibu negerinya. Tidak tertutup pula kemungkinan, masih banyak lagi negeri-negeri kecil yang belum sempat diceritakan dalam berita Ramayana itu.
Tujuh negeri yang disebutkan-sebut itu semuanya berada di pesisir pantai dan sungai. Namun perlu dijelaskan, letak kerajaan Hindhu Phã-mnalä-yû Crï-Iňdrâpurä Miňangatämvàn dengan ibunegeri Crï-Iňdrâpurä adalah negeri yang di sebut-sebut dalam naskah klasik, sebuah negeri yang terletak di muara sungai Kampar. Mungkin juga lebih tepat disebut negeri yang terletak menghadap kelaut (Kerajaan itu memiliki pelabuhan laut dan pelabuhan sungai). Dengan demikian jelaslah, bahwa kerajaan yang dimaksud bukan negeri/Kota Siak Sri Indrapura yang ada sekarang.

Kerajaan Hindhu Phã-mnalä-yû Crï-Iňdrâpurä Miňangatämvàn telah ada pada tahun 10 sebelum Masehi, yang berarti juga sebelum adanya negeri bernama Siak Sri Indrapura yang ada sekarang. Bahkan tidak tertutup kemungkinan Kerajaan Hindhu Phã-mnalä-yû Crï-Iňdrâpurä Miňangatämvàn dimaksud itu telah ada sebelum adanya Kerajaan Bhuddha Phã-mnalä-yû Crïviyäyâ. Karena jarak berdirinya tiga kerajaan ini tidak begitu jauh (Phã-mnalä-yû Crïviyäyâ, Phã-mnalä-yû Crï-Iňdrâpurä Miňangatämvàn dan Phã-mnalä-yû Tulang Bawang).

Pada abad ke-I M hingga pertengahan abad ke-V M, telah beredar berita dari pelaut-pelaut China dan India, adanya berbagai perompakan di Laut Jawa dan Laut Cina Selatan. Berita ini sekaligus merupakan indikasi dan bukti bahwa perairan laut Nusantara telah ramai dilayari kapal-kapal (Jong) dari negeri asing (Negeri yang jauh dari Nusantara). Keterangan ini menepis adanya anggapan bahwa pada awal Masehi, negeri Nusantara ini masih tertutup (Lengang) sama sekali.

*Pemerhati Sejarah Bengkulu /alumni Universitas Islam Djakarta

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.