Hukuman Mati Tak Buat Teroris Jera

Jakarta, beritaterbit.com – Mantan Komandan Negara Islam Indonesia (NII) Ken Setiawan menegaskan, hukuman mati tidak akan mengurangi aksi terorisme yang belakangan ini semakin marak di Indonesia. Pelaku terorisme nekat melakukan aksi teror hingga meresahkan masyarakat. Ketika matipun dijanjikan akan mendapatkan surga.

“Hukuman mati tidak bisa memberikan efek jera bagi pelaku teror. Karena ketika mati pun dapat surga,” ujar Ken kepada Harian Terbit, Jumat (18/5/2018).

Menurut Ken, yang saat ini mendirikan NII Crisis Center, pelaku radikal bisa diobati melalui dialog. Karena hampir seluruh aksi terorisme di Indonesia pelakunya berideologi NII. Mereka bergabung menjadi teroris karena ada yang kecewa lalu berafiliasi dengan kelompok lain misalnya JAD, JAT, JAS, ISIS dan lainnya. Sejak 2011 hingga saat ini, NII Crisis Center telah menerima lebih dari 5.000 laporan korban yang menganut paham radikal.

“Cara merehabilitasinya adalah dengan dialog. Artinya dengan cara yang sama seperti dulu dia direkrut,” jelasnya.

NII Crisis Center juga akan mendalami latar belakang sosialnya. Seperti sekolah, kuliah atau bekerja dimana serta masih sendiri atau sudah berkeluarga. “Kita pelajari juga psikologi korban, sebab ketika dilakukan penindakan dialog ada reaksi yang bermacam-macam, ada yang frontal, ada pula yang diam membisu tak mau diajak dialog,” paparnya.

Ken menuturkan, selama ini dialog cukup efektif untuk mengembalikan kembali para korban teroris tersebut ke jalan yang benar. Karena pada dasarnya para korban radikal itu adalah orang yang punya semangat diatas rata-rata.  Permasalahan utamanya adalah mereka belajar dengan orang yang salah sehingga materi jihad yang didapat juga jihad yang salah.

Direncanakan

Ken menyebut rentetan kejahatan terorisme yang terjadi selama dua pekan terakhir, ada yang direncanakan dan acak. Para pelaku kejahatan bom dan teror memanfaatkan media sosial semisal YouTube sebagai ajang memperkuat iman mereka.

“Paham-paham radikal tersebar ke ranah media sosial. Melalui broadcast-broadcast di grup-grup WhatsApp, berita-berita bohong lebih cepat tersebar ketimbang berita yang berdasarkan fakta. Peran media sosial cukup signifikan dalam aksi terorisme ini. Opini publik berawal dari sana,” kata Ken.

Pergerakan para pelaku teror mengalami pergeseran modus operandi. Mereka tak perlu lagi menunggu instruksi dari seorang komandan kelompok. Kini para teroris bergerak secara acak. “Ini bahaya karena mereka bisa melakukan kapan dan di mana saja,” ungkapnya.

Intoleransi menjadi pintu masuk awal radikalisme. Menurut Ken, para pelaku teror menganggap paham yang mereka yakni paling benar, sementara yang lain salah. “Yang berbeda paham diyakini mereka kafir. Itu pintu awal orang akan berbuat radikal,” tuturnya.

Tolak 

Ricky Gunawan, anggota Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat menyayangkan tuntutan jaksa penuntut umum terhadap Aman Abdurrahman yang didakwa sebagai pelaku tindak pidana terorisme dan disebut-sebut sebagai pimpinan Jamaah Ansharut Daulah (JAD).

LBH Masyarakat meyakini bahwa menghukum mati pelaku terorisme hanya melanggengkan lingkar kekerasan dan tidak menyelesaikan akar kejahatan terorisme, serta tidak menghentikan meluasnya paham radikalisme.

Setelah eksekusi mati terhadap Amrozi, Imam Samudra dan Ali Gufron di 2008, sambung Ricky, aksi terorisme tidak kunjung surut dan paham ekstremisme juga masih menyeruak. Tuntutan hukuman mati terhadap pelaku terorisme yang justru tidak takut mati dan siap melakukan aksi bunuh diri hanya akan menempatkan pelaku sebagai martir dan berpotensi menarik simpati dari banyak orang.

Penulis: Safari/HanTerbit

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.