Resonansi: Rajo Beruk di Negeri Kukang

Oleh Benny Benardie

Tahun itu merupakan tahun yang mendebarkan bagi masyarakat kukang. Betapa tidak, negeri kukang ini dikagetkan oleh pekikan beberapa beruk, yang setiap hari mebrisikan gendang telinga.

“Adik sanak yang sedarah seketurunan. Tampaknya negeri ini sudah berisik oleh suara mirip  beruk. Sementara kita hanya diam. Diam bukan berarti emas. Karena emas dan diam itu berbeda. Paham sanak tu kan?” kata Tetua kukang ke masyarakatnya.

Seperti sudat kodratnya, apapun yang terjadi, kukang selalu diam dan menoleh kekanan kekiri secara perlahan. “Aauu”, jawab para kukang.

Selang berapa saat, munculah dua beruk besar dan satu beruk muda. “Wahai para kukang, akulah yang selalu berteriak itu. Ketahuilah para kukang, “Kalau tak terada-ada, tak kan tampua bersarang rendah”, teriak beruk besar sembari nyengir.

Mendengar kemunculan tiba-tiba sang beruk, rupanya tidak spontan membuat para kukang kaget. Masih seperti yang dulu, bergerak pelahan tanpa ekspresi (Cik Tau tapi Cik Slow). Padahal Beruk itu ingin jadi raja.  Raja berkuasa di negeri kukang.

Tetua para kukang yang juga slow mendengar pidato keinginan Sang Beruk tadi, rupanya tidak diam seperti yang disangka. Sembari menoleh ke kukang disebelahnya, “Raja alim raja disembah, raja lalim raja disanggah”, bisik Tetua kukang.

“Aauu…tapi masalahnya bukan alim atau lalim lagu Tetua. Bagaimana mungkin di negeri ini dipimpin oleh seekor beruk, sedangkan kita kukang. Bila diperkenankan, kita rumah dulu siapa kita, jangan lagi kita bernama kukang, tapi siaamaang”, jelas kukang.

Penulis dan Jurnalis Bengkulu    

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.