Cerpen T. Nazaruddin: “LANGKAH”

beritaterbit.com – Bagaikan petir di terik mentari…. begitulah siang itu, dalam tidur lelapku yang singkat karena kelelahan, aku terbangun dari mimpi buruk yang sangat menyedihkan. Hingga saat terbangun, aku masih menangis terisak-isak dan merasakan kesedihan yang mendalam. Namun herannya, dalam mimpi itu aku tidak melihat apa-apa, kecuali kegelapan dan perasaan kehilangan yang tiada tara. Tapi aku tidak tahu apa makna mimpi itu.

Menjelang malam, aku menerima telepon dari Henry, kakak kelasku di Program Doktor Pengelolaan Sumber Daya Alam & Lingkungan (PSL) salah satu universitas di Medan. “Kau ada terima surat peringatan dari Pasca?,” tanyanya. “Belum,” jawabku, “Ada apa?,” lanjutku. “Aku sudah terima. Paling lambat dalam tiga hari ini aku harus lapor, ingin melanjutkan studi atau mundur,” jelas Henry.

“Aku sudah menyelesaikan draft disertasiku untuk bimbingan dan besok aku akan melapor. Bagaimana dengan kau?,” tukasnya dengan logat Bataknya. “Aku sudah lulus ujian kualifikasi,” jawabku,”tapi setelah itu aku tidak menyelesaikan proposal. Aku tidak tahu, rasanya aku kehilangan semangat untuk meneruskan. Hingga setahun ini aku tidak pernah ke kampus. Berbekal studi dengan surat Izin Belajar, aku sibuk tugas struktural sebagai pembantu dekan, mengajar dan melaksanakan tugas pengabdian pada masyarakat,” uraiku panjang lebar. Aku seperti ingin meyakinkan Henry kenapa aku jeda menyelesaikan studiku.

Aku ingat, usai ujian kualifikasi, co-promotor 2 ku sekaligus ketua program Doktor PSL, Prof. Dr. Lidya, berbisik padaku, karena bisingnya keyboard acara yudisium,”Kamu selesaikan terus proposal dan kalau akan ujian nanti baru cari biaya,” katanya. Saat aku minta pertimbangannya soal biaya, karena staf akademiknya mengatakan, aku tidak boleh melanjutkan ujian proposal sebelum membayar lunas SPP dan biaya ujian.
Prof. Lidya memang sangat baik padaku.

Misalnya, ketika bimbingan ia mengatakan,”saya setuju saja jika promotor, Prof. Dr. Alwi telah setuju.” Demikian pula, Dr. Parmono, co-promotor 1 ku. Mereka orang-orang baik, pintar, sederhana dan sangat memotivasi mahasiswa atau bimbingannya. Terutama buat Prof. Lidya, aku mengenang budi baiknya, terakhir ia membalas smsku tanggal 24 Juli 2014, mengucapkan selamat Hari Raya Idul Fitri. Beberapa bulan kemudian, aku membaca berita harian Serambi online, ia telah meninggal dunia di Pulau Weh, Sabang. Perahu yang ditumpanginya saat research terbalik dan ia tidak tertolong. Semoga Allah Swt mengampuni segala dosanya dan menempatkan ia dalam syurgaNya. Aamiin.

Aku mendaftar pada program doktor PSL karena diajak oleh Prof. Alwi, saat itu ia menjabat ketua program doktor. Kami bertemu di Lhokseumawe, ketika aku sebagai konsultan hukum di kota Lhokseumawe, mengadakan acara talkshow dialog interaktif penataan ruang. Aku mengundangnya sebagai narasumber, bersama ketua Bappeda dan ahli hukum tata ruang dari salah satu universitas di Banda Aceh. Aku ingat kata Prof. Alwi, aku cocok mengikuti program multidisipliner itu karena bidang fungsional dosenku hukum agraria dan aku mengajar matakuliah hukum agraria, hukum lingkungan dan hukum tata ruang. Ternyata kemudian aku merasa tidak sreg, dosen dan pembimbingku umumnya dari bidang eksakta.

***

Keesokan harinya, aku ke program doktor PSL dan menemui Prof. Lidya untuk melaporkan status studiku. Beliau tampak tergesa-gesa akan mengajar, jadi ia meminta sekretaris program, Dr. Ilham untuk menemaniku menjumpai direktur pasca, Prof. Dr. Rahmadi.
“Silakan masuk,” katanya, ketika aku berdiri di pintu ruang kerjanya. Aku masuk dan duduk di hadapannya. “Ada yang mau disampaikan?, “ tanyanya.

“Ya, prof. Saya mau melaporkan status studi saya. Setelah ujian kualifikasi saya belum menyelesaikan proposal. Apakah saya sudah dikeluarkan surat peringatan untuk segera menyelesaikan studi? Hingga saat ini saya belum menerima suratnya,” jelasku. “Oya, saya baru ingat saudara, bukankah kita sebelumnya pernah ketemu dan ngobrol. Sudah lama sekali kita tidak bertemu, “sapanya. “Seingat saya, saudara tidak ada masalah dalam studi. Saya heran. Benar, saya melihat nama saudara masuk dalam daftar peringatan yang dikeluarkan oleh pembantu rektor bidang akademik. Kalau saudara belum menerima suratnya, mungkin belum dikirim atau telah dikirim tapi belum sampai ke alamat saudara,” ujarnya.

Aku menjelaskan, selain masalah perbedaan perspektif keilmuan sejumlah dosen eksakta denganku, meski semua matakuliah telah kuselesaikan dengan baik, sebelumnya aku telah mengalami musibah. Mobil dinas jabatanku sebagai sekretaris lembaga pada universitas tempatku bertugas di Lhokseumawe, dibobol maling. Kaca pintu belakang dipecahkan dan tas yang berisi laptop, data-data kuliah dan kantorku, serta berbagai dokumen penting lainnya dijarah.
“Ini surat laporan polisi, bukti telah terjadi perampokan dan pencurian terhadap barang-barang milik saya di dalam mobil….,” ujarku.
“Ya, saya sangat memahami kondisi dan posisi saudara,” setelah ia membaca surat yang kusodorkan,”tapi ini kewenangan pembantu rektor bidang akademik.

Saya tidak punya kuasa untuk membantu saudara, saya mohon maaf,” kata direktur pasca pelan. Aku sempat kehilangan semangat dan pikiranku blank karena semua data kuliah dan kantorku raib dalam sekejap. Namun, aku harus tetap optimis untuk melanjutkan kehidupan dan karirku. Aku pikir dan tersadar, aku harus tabah dan tetap tegar, mungkin Allah Swt sedang mengujiku.

Ketika bertemu Prof. Alwi usai ia mengajar, ia menyambutku dengan ramah,”Apakabar? Gimana proposalnya? Tetap semangat ya. Ibarat emas, supaya cantik dan bentuknya menarik, harus dibakar dalam loyang sampai derajat yang maksimal..” Lanjutnya, “ketika saya menyelesaikan doktor di sebuah universitas di Jawa, promotor saya Prof. Dr. Purwono juga sangat intens membimbing saya dan cukup berat beban saya alami, hingga berat badan turun lima kilo.”
Aku menjabat tangannya dengan takzim dan mengangguk tanda setuju dengan nasihatnya. “Terima kasih Prof,” ujarku. Benar, perjuanganku belum apa-apa, aku harus menjalani dan mengalami pembakaran yang maksimal, agar menjadi emas.

***

Sebulan telah berlalu, aku tidak pernah menerima surat peringatan batas studiku. Usai delapan jam di dalam bus Kurnia, merasakan penatnya perjalanan dari Lhokseumawe ke Medan. Aku kembali lagi ke program PSL. Setelah sebelumnya mengajukan surat permohonan pengunduran diri ke rektor dan membayar biaya SPP yang terakhir. “Ini pak, suratnya sudah keluar dua hari lalu,” kata staf akademiknya. Aku membuka amplop dan membaca suratnya.

Hatiku berdegup kencang……. dan teringat kembali mimpi burukku… ternyata, ini makna mimpi burukku di siang hari. Sejenak, dunia terasa gelap. Surat rektor menyatakan, sejak dikeluarkannya surat ini aku bukan lagi mahasiswa program doktor PSL dan aku diberi kesempatan untuk menyelesaikan studi di universitas lain dalam program yang sama.
Pulang ke rumah, di Lhokseumawe, aku menyampaikan berita duka itu pada istriku.

Awalnya, ia terkejut dan wajahnya nampak sangat kecewa. Terbayang berapa banyak waktu, biaya, tenaga dan enerji pikiran serta perasaan yang harus dikorbankan selama studi di program PSL. Mungkin karena ia melihat wajahku pucat dan tatapanku hampa. Ia dengan penuh pengertian menanyakanku, “Jadi sekarang gimana rencana abang?.”
Aku terdiam seribu bahasa dan terpaku duduk di depannya.

Lalu, aku mencoba menenangkan diri dan mulai memikirkan langkah-langkah ke depan. Aku tidak boleh hancur. Aku harus bangkit kembali dan mencari alternatif lain untuk menyelesaikan studi doktorku. Aku harus menebus segala kelalaian dan kegagalanku. Aku harus membuktikan pada istri dan anakku, bahwa aku masih punya masa depan dan bertekad untuk memberi mereka kehidupan yang layak dan bahagia…… kelak.
Sebenarnya apa yang kualami, dialami juga oleh beberapa teman di kampusku. Poltak Hutagalung, dosen teknik sipil di Medan, sebelumnya magister teknik lulusan Jerman, studinya gagal di tengah jalan usai ujian proposal.

Setelah istrinya meninggal di Singapore karena paru-paru, ia tidak pernah ke program PSL untuk menyelesaikan studi.
Aku teringat saat kuliah, ia pernah mengatakan,”Usiaku sekarang lima puluh dua tahun, jauh lebih tua dari kau. Temanku pernah bilang, untuk apa aku kuliah program doktor, tidak lama lagi pensiun. Aku katakan, aku hanya ingin mengukir namaku dengan gelar doktor di batu nisan, untuk memberi semangat anak-anakku.”

Selain Poltak, empat orang teman lagi di program doktor PSL kandas pula studinya. Ridwan dan Salman, dosen teknik, terkendala oleh sulitnya biaya. Lain halnya Suratman harus meninggalkan studi karena menderita stroke dan Darwis bermasalah dengan akademik dan biaya, keduanya dosen pertanian di kampus tempatku bertugas.

***

Siang itu, hujan turun dengan derasnya, langit bergemuruh dan sekali-kali petir menyambar. Aku duduk di teras rumah. Awan hitam menggelayut di pikiranku. Tatapanku menerawang… menembus batas pandang.
Selintas, aku teringat Prof. Dr. Nyoman. Ia dosenku saat kuliah magister hukum di Jawa. Mantan ketua program magister dan doktor ilmu hukum. Aku mempunyai hubungan yang baik dan akrab dengannya. Tiga matakuliah yang ia asuh, hukum lingkungan, hukum sumber daya alam dan hukum kehutanan aku diberinya nilai A. Bahkan, sesaat setelah peristiwa gempa dan tsunami tahun 2004 di Aceh, ia meneleponku.

“Hai.. Fatih, apakabar? Gimana keadaan kamu dan keluarga?,” tanyanya. “Syukur, baik Prof.”, jawabku. “Syukurlah… saya sudah khawatir gimana nasib Fatih dan keluarga pasca gempa dan tsunami. Beberapa kali saya telepon tidak masuk. Saya lihat berita di televisi, sungguh sangat dahsyat bencananya. Saya dan keluarga turut prihatin atas nasib Fatih dan saudara-saudara di Aceh,” ujarnya penuh simpati.

“Terima kasih Prof atas perhatian dan simpati atas musibah yang kami alami,” kataku. Kami yang bertempat tinggal di Lhokseumawe sangat bersyukur pada Allah Swt yang telah menghindarkan kami sekeluarga dari bencana. Kecuali hanya merasakan dahsyatnya gempa. “Oke…Fatih, kalau kamu kehilangan ijazah magister, boleh beritahu saya dan akan kita upayakan penggantinya,” ujarnya menutup pembicaraan kala itu.

Ketika tahun 2010 bertemu dengannya di Batu, Malang, dalam acara International Seminar on Environmental Law, ia menanyakan tentang studi doktorku. Aku katakan sedang mengikuti program doktor PSL di Medan, tapi mulai terkendala dengan proposal karena umumnya dosen dari bidang eksakta dan aku mulai tidak mood meneruskannya. Lalu ia menawarkan kembali ke program doktor ilmu hukum, jika sewaktu-waktu aku ingin kembali.

Terbetik dalam pikiranku untuk menghubunginya dan meminta bantuan untuk dapat kembali mendaftar pada program doktor ilmu hukum. Aku mengirimkan sms pada Prof Nyoman: “Selamat siang Prof, maaf mengganggu. Jika berkenan, saya ingin menelepon Prof untuk menyampaikan sesuatu berkaitan dengan studi doktor. Terima kasih atas perhatiannya. Fatih.”

Beberapa detik kemudian, ia membalas,”Saya sedang menguji pada ujian terbuka doktor. Nanti malam jam 10 saya call ok.”
Tepat jam 10 malam, teleponku berdering. Ternyata betul, Prof Nyoman. Ia sangat perhatian dan menepati janjinya. “Hai Fatih… gimana.. mau pulang ke kandang ya?,” selorohnya sambil tertawa, “Ok kalau gitu, besok saya kirim formulir dan siapkan persyaratannya.” Aku memberitahukan istri dan anakku, rencanaku untuk mengambil program doktor ilmu hukum di Jawa. Istriku sangat mendukung demi untuk mengobati lukaku, meski ia juga merasa kehilangan. Aku coba untuk meyakinkan anakku yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Awalnya ia sedih, tapi setelah aku hibur dan meyakinkannya ayah akan selalu menelponnya dan setiap ada kesempatan akan pulang.

Akhirnya ia bisa tenang dan merelakan kepergianku. Sebulan di Jawa, setelah mengikuti serangkaian tes, dalam ketidakpastian dan kesepian sendiri, aku menunggu pengumuman. Waktu itu tiba. Aku lulus program doktor ilmu hukum dengan beasiswa dari Dikti, Jakarta. Aku sujud syukur kepada Allah Swt dan menyampaikan berita kelulusan itu pada keluargaku. Seraya memohon dukungan, do’a dan kesabaran, selama aku meneruskan langkahku meniti suratan nasibku, di negeri ‘sejuta bunga dan apel’ itu.

Kini, aku menjalani hari-hari yang panjang dan sepi sendiri di negeri seberang. Setiap kali aku membuka laptop, mengerjakan tugas kuliahku. Selalu terbaca olehku, kata-kata bijaksana di layar desktop yang sengaja kupajang untuk memotivasi diriku,”Rencana Allah itu lebih baik dari rencanamu. Jadi tetaplah berjuang dan berdo’a. Hingga kau kan menemukan bahwa ternyata memang Allah memberikan yang terbaik untukmu.” Semoga! @ Lhokseumawe, 03 Mei 2020.

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.