Cerpen T.Nazaruddin: “ZAFIRA, BIDADARI KECILKU”

beritaterbit.com – Kelahiran putriku Zafira, enam tahun yang lalu, tepatnya 30 Mei 2015. Dan awal Januari setahun kemudian, dalam usia delapan bulan ia telah kembali ke sisiNya. Namun, segalanya seakan masih tampak nyata, di pelupuk mata dan dalam benakku. Saat ini, ketika aku sedang duduk sendiri dalam keheningan malam, di depan buku yang berjejer di meja belajarku dan laptop, di kamar kosku di salah satu kota di Jawa. Kota tempat aku dan istriku menjalin asmara dan menyatu dalam tali pernikahan, tempat kini aku menyelesaikan studi doktor pada satu universitas. Menjalani hari-hari sendiri dan tiada kepastian, ketika berminggu-minggu, aku harus sabar menunggu promotor dan co promotorku, yang sering tugas ke luar daerah. Menanti draft proposal disertasiku disetujui dan dijadwalkan ujian.

Terbayang ketika dua bulan lebih Zafira bersama nenek, bunda dan abangnya Ghozy di Jakarta, di rumah adik neneknya. Hampir setiap hari, Zafira bersama dengan bunda dan neneknya naik taksi, pulang pergi berobat ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan klinik herbal Prof. Hembing. Ia sering demam, tapi dokter belum tahu apa penyebabnya. Sementara abangnya, menanti dengan sabar dan tidak cengeng, di rumah. Ia melalui hari-harinya dengan om dan tantenya di rumah.

Sementara aku, ayahnya, hanya dua kali sempat menjenguknya. Pertama, ketika ada tugas studi banding pengelolaan jurnal ilmiah di salah satu universitas di Jakarta. Setelah bertemu dengan pimpinan dan pengelola jurnal di kampus tersebut, akupun mengambil kesempatan menjenguk anak dan istriku. Aku tidak bisa terus menemaninya, karena tidak dapat meninggalkan tugas sebagai dosen dan sekaligus sebagai pejabat struktural di kampusku. Saat itu, akhir tahun, aku disibukkan oleh tugas laporan dan penyusunan rencana anggaran tahun berikutnya.

Kedua, ketika aku ada tugas sebagai ketua pengelola video conference kerjasama suatu lembaga negara dengan universitasku. Seperti biasa, menjelang akhir tahun aku memenuhi undangan rapat koordinasi pengelola vicon, di hotel Sultan, Jakarta. Usai acara tersebut, aku menjenguknya dan sempat seminggu menemaninya berobat ke RSCM dan Prof. Hembing Wijayakusuma. Bahkan sempat mencari dan mendapatkan kamar kos dekat klinik Prof. Hembing untuk menjalani perawatan intensif. Pernah suatu kali, ketika berobat di RSCM dan duduk antri di depan ruang dokter, seorang ibu yang melintas di depan, surut dan menyapa istriku yang sedang menggendong Zafira. Ihh… cantik sekali anaknya, sambil mencolek pipi Zafira. Bapaknya bule ya bu?, tukasnya seakan tak percaya kalau aku dan istriku adalah orang tuanya. Istriku menengadah dan aku yang berdiri di sebelahnya melihat ibu tersebut. Ohh..nggak…, jawab istriku sambil tersenyum. Zafira memang bidadari kecil kami, setiap orang yang melihatnya memujinya dan terpana atas kecantikannya. Tubuhnya berisi, kulitnya putih kemerahan, rambutnya pirang dan ikal, matanya bulat dan jernih, alisnya yang halus tersusun rapi, hidung mancung, pipinya bak tomat dan bibirnya merah merekah. Tidak berapa lama aku bersamanya, hingga aku harus kembali ke kota tempat tinggalku, sekalian dengan neneknya yang kebetulan ada suatu keperluan.

Menjelang pamit pulang, hendak berangkat ke bandara Soekarno-Hatta, aku menyempatkan memotret Zafira. Tapi, tiba-tiba, ia menangis sangat keras. Bunda dan neneknya terkejut dan berusaha menentramkannya. Namun, ia terus menangis. Akupun makin sedih dan mulai merasakan firasat yang tidak enak. Ketika aku tersentak oleh klakson mobil di luar. Ternyata, taksi yang akan mengantar kami ke bandara telah menanti. Sementara anakku Zafira menangis tiada henti. Aku kembali menghampiri dan memegang tangannya, seraya coba menenangkannya. Tapi ia malah semakin menangis histeris. Hatiku berkecamuk hebat dan air mataku berurai, tak terbendung. Rasanya ingin kubatalkan keberangkatanku, tapi tak mungkin. Karena aku harus kembali ke kotaku untuk menyelesaikan tugas. Kulihat istriku, kubaca raut wajahnya yang pucat dan lelah, air matanya juga terus berlinang. Ia melihatku dan menyentuh tanganku, memberi isyarat agar aku segera berangkat. Biar ia yang coba membujuk Zafira agar tenang dan berhenti menangis.

Dengan hati yang berat dan pedih mengiris, aku pelan-pelan bangkit, tak kuasa mengeluarkan kata-kata untuk pamit dan keluar rumah. Memeluk dan mencium abangnya serta pamit seluruh keluarga di rumah, menuju taksi yang telah lama menunggu. Di dalam taksi, di tengah keheningan perjalanan menuju bandara, aku termenung dan berusaha menenangkan hatiku. Mataku terus terbayang jeritan tangis Zafira…

Dua jam kemudian, dengan menaiki pesawat garuda aku dan ibu mertuaku telah tiba di bandara Polonia Medan. Setelah duduk di taksi sekitar lima belas menit, tibalah kami di rumah. Hingga esok malamnya, ketika aku hendak pulang ke kotaku, istriku menelepon. Ia memberitahukan kondisi Zafira mulai lemah dan kritis. Setelah tadi siang ia lama mengalami mencret dan dibawa ke salah satu rumah sakit swasta di Jakarta. Ia ditempatkan di ruang unit gawat darurat, tapi tidak ditangani, karena kata petugasnya harus bayar uang deposit lima juta rupiah. Saat itu, aku katakan ada uangnya dan segera ke atm untuk transfer. Ketika di perjalanan menuju atm yang tempatnya jauh dan jalanan macet, istriku kembali menelpon dan mengatakan harus ada uang sepuluh juta pada malam itu juga. Aku mulai bingung dan resah, karena uang hanya ada lima juta. Aku katakan, tunggu sebentar, aku coba menghubungi teman untuk pinjam uang. Aku berhasil meminjam uang pada temanku di kampus, tapi katanya besok baru bisa ditransfer. Aku menghubungi istriku dan memberitahukannya. Tapi istriku bilang tidak bisa, mereka minta malam ini. Kalau uangnya tidak ada, maka Zafira harus segera dikeluarkan dan dibawa ke RSCM. Tapi dengan bahasa halus namun bernada mengancam, petugas itu bilang, “boleh ia dikeluarkan, tapi kalau terjadi apa-apa kami tidak menjamin, begitu kata mereka seperti ditirukan istriku. Sementara itu, Zafira telah lama dibiarkan tidak ditangani dan kondisinya semakin lemah. Akhirnya, karena aku tidak berhasil mendapatkan uang yang diminta malam itu. Zafira harus dikeluarkan dan dibawa naik ambulans ke RSCM. Tiba di RSCM, kata istriku, kondisi Zafira bertambah parah.

Dokter dan perawat RSCM terus berusaha menangani dan mengobati Zafira. Istriku ditemani oleh kedua sepupunya yang tinggal di Jakarta, menunggu di luar ruang perawatan dengan hati berdebar-debar dan penuh kekalutan. Mereka tidak pernah mengalami kondisi seperti itu. Biasanya ada ibu mertuaku yang selalu bersama dan merawat Zafira.
Malam itu aku tidak jadi naik bus pulang ke kotaku. Aku bersama mertua dan adik iparku menunggu kabar dari istriku dengan resah. Ibu mertuaku mengajakku ke bandara malam itu untuk segera berangkat ke Jakarta. Tapi telah malam jadwal berangkat pesawat tiada lagi, kami sepakat ke bandara usai shalat subuh. Hingga tengah malam, kami terus menunggu kabar dan berdoa tiada henti, semoga Allah Swt memberi kesembuhan untuk Zafira.

Malam itu semakin larut, kami tidak dapat tidur. Sambil merebahkan badan karena lelah, di tempat tidur aku memejamkan mata tapi hatiku bergemuruh, jantungku semakin berdegup kencang, dan sekujur tubuhku meriang serasa akan demam. Dalam hatiku terus berzikir dan berdoa pada Allah Swt untuk kesembuhan Zafira. Dalam zikir aku sempat tertidur dan tersentak ketika azan shalat subuh. Usai shalat subuh, aku dan ibu mertuaku naik taksi ke bandara Polonia dan memesan tiket pesawat yg lebih awal. Jam tujuh pagi, kami take off dengan pesawat Batavia terbang menuju Jakarta.

Pagi itu, cuaca mendung dan hening… seakan mewakili suasana hatiku yang terasa hampa. Aku duduk di pesawat dengan hati gundah dan tatapan kosong. Melalui jendela, kulihat awan putih berarak di bawah pesawat. Dua jam terbang, pesawat landing di bandara Soekarno-Hatta Jakarta. Keluar dari bandara, aku dan ibu mertuaku menunggu bus yang mengarah ke RSCM. Tiba-tiba handphoneku berdering. Ternyata telepon dari adik iparku. Abang dimana?, tanyanya. Di bandara, sedang menunggu bus, jawabku. Dengan suara yang agak lirih, ia lanjut berkata,udah bang, sekarang nggak usah tunggu bus lagi. Segera saja naik taksi ke RSCM. Aku mulai curiga dan merasakan isyarat yang tidak baik. Akupun segera bilang pada ibu mertuaku untuk naik taksi dan menuju ke tempat perhentian taksi.

Kenapa?, aku tanya lagi. Sabar ya bang… kita harus bertawakkal kepada Allah Swt… si adek telah meninggalkan ki..ta…, jawabnya dengan terbata dan tidak mampu menahan kesedihannya. Pagi itu, langit terasa gelap, seakan petir menggelegar setelah mendengar perkataan adik iparku. Aku berdiri terpaku, tak mampu berkata-kata lagi, pikiranku kacau dan hampa. Supir taksi telah menawarkan kami untuk masuk. Ibu mertuaku yang dari tadi mendengar dan menunggu pembicaraanku dengan adik iparku, tampak sangat khawatir dan tidak sabar bertanya. Ada apa? Kenapa harus buru-buru naik taksi?, desaknya. Sabar ya bu…, ujarku dengan nada berat dengan berusaha menahan diriku agar tidak menangis.

Meski hatiku porak-poranda. Ya… kenapa…ada apa? suaranya semakin tinggi dan nampak kepanikan di wajahnya. Sambil masuk ke dalam taksi dan mengatakan ke RSCM pada supir taksi, aku katakan Sabar bu… sabar… innalillahi wa inna ilaihi rajiun… Zafira telah meninggalkan kita.” Ketika mengatakan itu, aku tak mampu lagi membendung cucuran air mataku. Ibu mertuaku semakin panik dan berteriak histeris Ya Allah…. ya Allah… kenapa cepat sekali ia pergi… baru sebentar ia kutinggalkan… teriaknya sambil menangis sejadi-jadinya. ibu menyesal kenapa ibu tinggalkan dia.

Dia tidak bisa kalau jauh dari ibu… ujarnya sambil terus menangis. Sabar bu… kita harus ikhlas, ibu tidak salah, ia memang sudah saatnya kembali pada Allah… aku berusaha menenangkannya dan sekaligus menenangkan hatiku sendiri yang berkecamuk duka pilu tak menentu. Sementara taksi terus melaju di antara gedung-gedung tinggi dan padatnya kendaraan di jalan. Sekali-kali berhenti karena macet dan supirnya tampak memahami apa yang sedang terjadi, berusaha melalui jalan-jalan pintas, supaya cepat sampai ke RSCM.

Akhirnya, kami tiba di halaman RSCM. Setelah membayar ongkos taksi, buru-buru kami masuk dan mencari ruang tempat Zafira dan istriku berada. Sampai di ruang itu, kulihat istriku dengan wajah yang pucat dan hampa, jenazah Zafira yang terbungkus di atas meja beton. Di dampingi oleh perawat, Anakku Ghozy sedang dijemput dari rumah adik ipar. Ibu mertuaku kembali menangis histeris dan langsung menghampiri jenazah Zafira. Menggendong dan menciumnya. Menyusul aku di belakangnya.

Petugas RSCM memberitahukan, bahwa ambulans yayasan telah disiapkan dan akan membawa jenazah ke cargo pesawat Garuda, untuk diterbangkan ke Medan. Sebelumnya, aku telah ditanya apakah jenazah disemayamkan di Jakarta, Medan atau dibawa pulang ke kota tempat kami bertempat tinggal. Aku katakan, bawa pulang ke kotaku dan bersepakat dengan istriku untuk dikuburkan di sisi kuburan bapakku.

Tidak berapa lama, anakku Ghozy dengan tantenya datang. Aku memeluknya. Saat itu usianya lima tahun, ia belum begitu mengerti apa yang terjadi. Tapi dari wajahnya ia merasakan kesedihan dan tampak tegar menghadapi kenyataan. Kami siap-siap menaiki ambulans yang membawa jenazah. Beberapa menit kemudian, ambulans melaju kencang, diiringi sirine yang melengking menerobos kemacetan Jakarta dan sekali-kali memasuki jalur busway agar cepat tiba di bandara. Setiap kali ada kendaraan di depannya yang lambat dan menghalangi, supir menekan klakson berulang-ulang.

Di bandara, jenazah segera disambut petugas dan dibawa ke cargo pesawat, sementara kami langsung ke ruang tunggu. Aku, istriku dan ibu mertuaku tidak berkata-kata, masing-masing hanyut dalam kesedihan. Kecuali, menatap Ghozy yang masih polos, jalan ke sana ke mari melihat penumpang lain yang banyak dan suasana di ruang tunggu.

Terkadang kami tersenyum lirih melihatnya, ya.. dialah satu-satunya hiburan kami saat itu. Ghozy berdiri di depan kaca dinding ruang tunggu dan berteriak-teriak kegirangan, melihat pesawat berjejer, terutama pesawat Arab Saudi yang ukuran badannya besar-besar. Tiga puluh menit kemudian, kami telah berada di dalam pesawat Garuda yang menerbangkan kami ke Medan. Ghozy tiba-tiba teringat adiknya Zafira. Bunda, di mana adik? Kok adik nggak ikut duduk dengan kita di pesawat?,tanyanya. Kami tersentak dan beberapa detik kami terdiam, sambil menatapnya.

Mata kami hampir berkaca-kaca dan saling menoleh, namun mencoba untuk menyembunyikan kesedihan. Istriku berusaha menanggapinya,ohh.. ada.. adik juga ikut di pesawat bersama kita, tapi di ruang khusus karena adik sedang sakit.. sambil menahan keterharuan. Aku melihat dari wajah istriku yang pucat, lelah dan sedih. Beberapa hari terakhir, sejak sakit Zafira bertambah parah, ia sibuk mengurusnya dan tidak sempat tidur.
Pesawat terus melaju kencang tapi stabil, suaranya bergemuruh, di atas awan putih yang berarak panjang. Kami duduk dalam keheningan dan hanyut dalam kesedihan. Namun berusaha untuk tetap tegar dan tenang. Zafira bidadari kecilku, hanya sekejap ia bersama kami.

Mungkin, ia memang sebentar dititipkan pada kami untuk menyampaikan pesan sang Khalik, bahwa tempatnya adalah disisiNya dan menanti kami di syurga. Dalam hati, aku berdoa dan setiap usai shalat selalu kupanjatkan doa: Ya Allah, Engkau Yang Maha Kuasa dan Maha Mulia, ampunilah kami orang tuanya. Berilah kami kesempatan untuk memperbaiki amal ibadah kami, membersihkan dosa dan kesilafan kami. Terimalah anak kami di sisiMu, berilah ia ketentraman dan kebahagiaan. Berilah kami kesempatan untuk menemui bidadari kecil kami di pintu syurgaMu… aamiin. (Lhokseumawe, 02 Mei 2020).

1 Komen
  1. Azhari.SH berkata

    Tdk terasa membaca tulisan ini membuat aku terhanyut dlm kesedihan yg mendalam,
    Semoga dia menjemput bapaknya menuju syurga Allah

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.