Mengenal Panglima Laoet Di Aceh Dengan Kemiskinan Para Nelayan

Bireuen, Beritaterbit.com – Aceh memiliki banyak karakteristik tidak terlepas dari sejarah adat budayanya. Di antara sekian banyak adat budaya yang dimiliki Aceh adalah sebutan panglima.

Panglima di Aceh tidak saja untuk panglima perang tapi banyak panglima panglima lain yang terkadang tidak ada hubungan dengan pengertian panglima. Di antara panglima panglima yang banyak berperan misalnya, Panglima Uteuen, Panglima Sagoe, Panglima Laoet, Panglima Rimung, Panglima Buya, Panglima Unou, dan Panglima Tibang.

Dari semua sebutan panglima tersebut tentu memiliki tugas dan perannya masing masing.
Berikut wartawan media online ini  beritaterbit.com Suherman Amin mencoba menelusuri peran dan tugas Panglima Laoet sebagai salah satu sumberdaya perikanan dan kelautan termasuk melindungi keberadaannya.

Ada beberapa hal yang diharapkan dari pengelolaan sumberdaya tersebut, Misalnya mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan (social equity),dan kelestarian lingkungan.

Sumberdaya kelautan dan perikanan, diharapkan juga akan mencapai tujuan yang ideal, yakni menyelesaikan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan. Terdapat sejumlah peraturan dan perundang-undangan yang dilahirkan untuk menjawab persoalan persoalan yang terkait dengan laut, pantai dan perikanan.

Menurut Syawal salah seorang Panglima Laoet di Aceh menyebut bahwa di Aceh sendiri, lahirnya Undang Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) memberi kewenangan besar terhadap Pemerintah Aceh untuk mengelola potensi kelautan dan perikanan tersebut melalui Dinas Perikanan dan Kelautan yang di dalamnya termasuk Panglima Laoet.

Untuk kita ketahui bahwa UUPA mengamanahkan, Pemerintah Aceh, pemerintah kabupaten/kota berwenang untuk mengelola sumber daya alam yang hidup di laut dan pesisir wilayah Aceh yang meliputi, konservasi dan pengelolaan sumber daya alam di laut, pengaturan administrasi dan perizinan penangkapan dan/atau pembudidayaan ikan.

Namun tambah Syawal pengaturan tata ruang wilayah laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil, penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan atas wilayah laut yang menjadi kewenangannya tidak diperhatikannya. Termasuk pemeliharaan hukum adat laut dan membantu keamanan laut serta keikutsertaan dalam pemeliharaan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota serta Majedlis Adat Aceh (MAA) sebenarnya sangat berwenang menerbitkan izin penangkapan ikan dan pengusahaan sumber daya alam laut lainnya di laut sekitar Aceh sesuai dengan kewenangannya.akan tetapi apa lacur pihak MAA tidak jelas mengatahui masalah itu.

Terhadap lembaga adat yaitu Panglima Laoet berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh yang dibentuk dan kedudukannya mulai ditingkat Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, Kemukiman dan Desa.

Lembaga Panglima Laot berhak mengatur harta kekayaan sendiri, berhak dan berwenang mengatur dan menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan adat Aceh tentang  laut. Lembaga adat laoet merupakan salah satu lembaga adat yang harus dipertahankan, dimanfaatkan, dipelihara, diberdayakan dan dibakukan.

Dalam sebuah Keputusan Gubernur Aceh menyebutkan, Pembentukan Panglima Laot dilakukan dalam rangka menyukseskan pembangunan subsektor perikanan, dengan tugas dan wewenang dalam kedudukannya sesuai adat membantu tugas pemerintah dalam pembangunan bidang subsektor perikanan dan masyarakat nelayan dalam arti luas.

Tugas dan tanggung jawab Panglima Laot termasuk masalah pengaturan penangkapan ikan, serta mengatur tentang larangan pengrusakan lingkungan laut, di samping adanya pantang laot di hari-hari tertentu berimplikasi kepada berjalannya ekosistem.

Hal ini berpedoman kepada masyarakat Aceh masa sultan atau kerajaan Sultan Iskandar Muda menyebutkan, Panglima Laot sudah diatur secara resmi dalam negara, yang mengatur wilayah penangkapan ikan atas dasar surat sultan.

Namun dalam kedudukannya sekarang seorang Panglima Laot tidak lagi sebagai orang yang ditunjuk tetapi dipilih secara demokratis oleh pawang pukat dan nelayan yang bertugas menyelesaikan perselisihan di laut, dan memimpin pelestarian lingkungan hidup dan adat laut lainnya.

Selain itu mengatur wilayah penangkapan ikan dan melarang nelayan di wilayah perairan umum menggunakan bahan peledak, racun, atau arus listrik dan bahan lain yang dapat merusak kelestarian sumber daya ikan.

Hukum Adat Laot di Aceh merupakan hukum adat yang berlaku dalam masyarakat nelayan di wilayah masing-masing dengan ketenyuan ketentuan yang disepakati.

Nelayan atau pengusaha yang melakukan usaha penangkapan ikan pada wilayah hukum adat tersebut harus tunduk pada hukum adat yang berlaku di daerah itu (hak ulayat laut). Semua pelarangan itu ada sanksinya.

Jadi sebenarnya, Hukum Adat Laoet sangat konteks dengan pelaksanaan pengelolaan sumberdaya secara benar dan berkelanjutan. Panglima Laot inilah yang bertugas mempertahankan dan memelihara adat laot, yang di dalamnya diatur juga pengelolaan fungsi lingkungan hidup.

Panglima Laot memegang kekuasaan tentang pengaturan tempat penangkapan ikan, serta mengatur efektifnya aturan tentang hari-hari yang dilarang turun ke laut. Dalam adat laot, yang sangat ditekankan adalah usaha memenuhi kebutuhan ekonomi harus seimbang dengan kelestarian habitat dan keberlanjutan ekosistem.

Adanya larangan turun ke laut pada hari-hari tertentu seperti hari Jumat, hari raya, dan hari-hari besar Islam, tak harus dipandang sebagai konsekuensi dari prosesi adat semata. Akan tetapi, larangan itu juga dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan kesempatan benda-benda laut dan biota laut untuk beranak-pinak.

Di sini, adat laut sudah memberi makna yang lebih luas, yakni ”keharusan” umat manusia di pesisir membina hubungan dengan makhluk dan lingkungan dalam rangka berjalannya proses interaksi yang saling membutuhkan secara terus-menerus.

Hal lain dalam adat laut melarang keras para nelayan atau siapa saja untuk membuang sesuatu yang bisa mencemari laut, atau yang berefek kepada keberadaan biota di laut.

Demikian juga membuang kotoran sisa-sisa ikan. Dalam konteks hubungan manusia dengan Sang Pencipta, Allah SWT, terlihat bagaimana manusia harus menggunakan rezeki seefisien mungkin.

Dalam hukum adat laut, juga diatur tempat penambatan perahu dan pukat di pantai, tempat penjemuran alat penangkapan ikan dan memperbaiki kerusakan baik alat penangkapan ikan maupun perahunya.

Larangan larangan melaut saat pantang laut, penyelesaian sengketa di laut, pengrusakan lingkungan dan kecelakaan di laut.

Dalam konteks adat-istiadat di laut, termasuk khanduri laut. Pelaksanaan hukum adat laut berimplikasi kepada sanksi bila tak dilaksanakan. Sanksi tersebut bisa berbentuk penyitaan hasil laut dan denda hingga sayam bila terjadi pertengkaran, perkelahian  berdarah selanjutnya mengupayakan perdamaian.

Pengaturan adat laoet di Aceh dapat diartikan sebagai media resolusi konflik. Keberadaan adat laoet dapat menjadi alat penyelesaian sengketa, baik perdata maupun pidana. Keributan yang terjadi karena konflik dalam mengelola kekayaan alam antar masyarakat nelayan, adat laoet memiliki konsep tersendiri untuk menyelesaikannya dengan penuh kedamaian.

Sumber daya alam kelautan dan perikanan di Aceh, diharapkan akan mencapai tujuan yang ideal, yakni menyelesaikan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan. Tujuan akhir dari hukum adat laoet sendiri, sebenarnya juga adalah menuntaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan baik dalam konteks fisik maupun nonfisik.

Secara yuridis formal, keberadaan hukum adat laut dengan panglima laoetnya sudah diatur sedemikian rupa dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

Namun terhadap masalah kelautan ini patut dipertanyakan, sejauhmana kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah Aceh dalam melindungi kepentingan masyarakat di pesisir pantai, kepentingan hak-hak tradisional.

Untuk diketahui, kaum nelayan di Aceh umumnya masih tradisional, perlu mendapat perhatian serius Pemerintah Aceh betapa kemiskinan kampung nelayan yang memilukan.

Kemiskinan nelayan di Aceh masih cukup memprihatinkan yang disebabkan pembangunan belum berpihak kepada mereka.

Nelayan Aceh umumnya belum mengecap kesejahteraan bahkan hasil tangkapan ikan yang mareka lakukan kian berkurang akibat adanya boat atau kapal-kapal besar yang beroperasi di wilayah perairan nelayan tradisional. Semoga mendapat perhatian kita semua terutama Pemerintah Aceh. (Suherman Amin)

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.