Otonomi Desa Sebagai Wujud Dari Negara Demokrasi

Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasan kepada Daerah untuk menyelenggarakan otonomi Daerah.[1] Dengan dianutnya asas desentralisasi maka terjadilah pergeseran atau pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada tingkat bawah untuk mengurus sendiri urusan pemerintahannya.

Diberikannya asas desentralisasi bertujuan agar pemerintah dapat lebih meningkatkan fungsi pelayanan kepada seluruh lapisan masyarakat. Di Indonesia sendiri, dampak dari dianutnya asas desentralisasi diwujudkan dalam kebijakan otonomi, baik itu di tingkat daerah maupun di tingkat desa.

Otonomi Daerah pada dasarnya adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Hak tersebut diperoleh melalui penyerahan urusan pemerintah dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sesuai dengan keadaan dan kemampuan daerah yang bersangkutan.[2]

Widjaja (2003: 165) menyatakan bahwa otonomi desa merupakan otonomi asli, bulat, dan utuh serta bukan merupakan pemberian dari pemerintah. Sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak istimewa, desa dapat melakukan perbuatan hukum baik berupa hukum publik maupun hukum perdata, memiliki kekayaan, serta harta benda.

Sebenarnya demokrasi desa sudah ada sejak zaman dulu, namun pada era Orde Baru melalui UU No. 5 tahun 1979, diberangus. Bukan hanya itu saja, struktur pemerintahan desa pun diseragamkan. Dengan adanya penyeragaman pemerintahan desa menurut keinginan pemerintahan pusat, tentu saja telah mengingkari keragaman nilai-nilai lokal yang dimiliki oleh berbagai daerah, padahal Bangsa Indonesia adalah bangsa yang terdiri atas berbagai macam suku bangsa tentu saja sangat majemuk.

Ketika era reformasi, regulasi tentang desa diatur melalui UU No. 22 Tahun 1999, yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2014. Dalam kedua UU tersebut, ada perubahan tentang desa yang tidak lagi diseragamkan dan pengaturan tentang demokrasi melalui pemilihan kepala desa dan keberadaan Badan Perwakilan Desa. Pada akhir tahun 2014, Desa lalu diatur sendiri melalui Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Setelah disahkannya UU No. 6 Tahun 2014 ini. Desa memiliki sejumlah kewenangan. Dalam Undang-undang (UU) tersebut dinyatakan dalam pasal 18 bahwa kewenangan Desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat Desa.[3]

Selain itu, desa juga memiliki beberapa kewenangan yang dimandatkan oleh UU No. 6 Tahun 2014. Kewenangan tersebut, yaitu: memilih kepala desa dan menyelenggarakan pemilihan kepala desa; membentuk dan menetapkan susunan dan personil perangkat desa; menyelengarakan musyawarah desa; menyusun dan menetapkan perencanaan desa; menyusun, menetapkan dan melaksaanakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa; menyusun, menetapkan dan melaksanakan peraturan desa; membentuk dan membina lembaga-lembaga kemasyarakatan maupun lembaga adat; dan membentuk dan menjalankan Badan Usaha Milik Desa.

Sebagai perwujudan demokrasi, di Desa dibentuk Badan Perwakilan Desa yang sesuai dengan budaya yang berkembang di Desa yang bersangkutan, yang berfungsi sebagai lembaga legislasi dan pengawasan dalam hal pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa dan Keputusan Kepala Desa.[4]

Dalam pasal 55 UU Desa dikemukakan bahwa BPD mempunyai fungsi membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa; menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa; dan melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa. Anggota Badan Permusyawaratan Desa merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah yang pengisiannya dilakukan secara demokratis.

Berdasarkan pasal 34 UU Desa, Kepala Desa dipilih langsung oleh penduduk Desa. Pemilihan Kepala Desa bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pemilihan Kepala Desa dilaksanakan melalui tahap pencalonan, pemungutan suara, dan penetapan.

Dalam melaksanakan pemilihan Kepala Desa dibentuk panitia pemilihan Kepala Desa. Panitia pemilihan bertugas mengadakan penjaringan dan penyaringan bakal calon berdasarkan persyaratan yang ditentukan, melaksanakan pemungutan suara, menetapkan calon Kepala Desa terpilih, dan melaporkan pelaksanaan pemilihan Kepala Desa.

Oleh sebab itu, demokratisasi dalam desa seharusnya bukan hanya sebatas pada berjalannya prosedur teknis demokratis saja. Demokratisasi desa harus dapat berjalan pada dua arah, yakni pertama adanya prosedur dan mekanisme yang menghasilkan penetapan keputusan yang bersifat demokratis. Kedua, adanya kultur atau budaya dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan prinsip-prinsip demokratis dalam kehidupan sosial masyarakat desa.[5] Dalam hal ini agar upaya demokratisasi desa tersebut dapat berjalan efektif dan efisien maka harus ada kerjasama dari berbagai unsur desa yaitu Kepala Desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Lembaga Kemasyarakatan Desa, Lembaga Adat, Tokoh Masyarakat dan Kader Pendamping Masyarakat Desa (KPMD).

Penulis : M. Aditya Pratama (Mahasiswa Hukum Otonomi Desa, Fakultas Hukum UNIB)

[1] Deddy Supriady Bratakusumah dan Dadang Solihin, 2002, Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, hal.1.

[2] Djohermansyah Djohan, Problematik Pemerintahan dan Politik Lokal, Cet I (Jakarta, Bumi Aksara, 1990), h.52.

[3] Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa

[4] Widjaja, 2003, Otonomi Desa Merupakan Otonomi Yang Asli, Bulat, Dan Utuh, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, Hlm 14.

[5] Ahmad Budiman, Debora Sanur Lindawaty, Prayudi, dan Siti Chaerani Dewanti, 2019, Demokratisasi Desa, Jakarta, Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.