Torehan Pena Emak

Kata kunci hidup itu bergerak. Meskipun kita tidak bergerak, kehidupan akan bergerak dengan sendirinya. Konsekuensinya, tidak ada yang kebetulan di muka bumi ini.

Semua kejadian sudah merupakan ketentuan dari Tuhan Yang Maha Esa. Mungkin itulah yang namanya takdir. Ketentuan hanya dapat ditolak dengan doa yang sungguh-sungguh.

Secarik kertas yang belum usai ditulis terselip di sela-sela baju usang yang tak terpakai. Entah kapan tulisan bermula, yang mencoba menguak kehidupan Emak saat usianya kini menginjak usia 73 Tahun. Usia uzur yang perlu perhatian khusus anak cucu dan kaum kerabat.

“Seenak-enaknya nasi gulai diluar nak, masih enak masakan Emak nak,” ucapan yang selalu ditanam dibenak anak-anak saat Emak ngedumel.

Ungkapan seperti memancing untuk minta diperhatikan. Realitanya sifat atau karakter itu tidak bagi Emak. Meskipun tua renta, Tuhan selalu memberikan kesehatan dan kekuatan fisik. Tidak seperti teman sepermainannya yang masih hidup, kuyuh dan retah tanpa daya.

Tak Sengaja

Siti yang merupakan anak sulung, pagi itu tak sengaja menemukan buku catatan Emak saat mencari secarik kain atau baju rombeng untuk dijadikan keset lantai pintu masuk rumah. Kala itu Emak sedang pulang kampung di Bengkulu untuk menghadiri keponakannya yang hendak menikah.

Sedikit gugup dengan tangan bergetar, Siti membuka tulisan itu lembar demi lembar. Siti tampak mulai ‘hanyut’ dengan ceritera pendek hidup Emak yang tertoreh dibuku yang kertasnya tampak menguning. Saat kisah memilukan mengalir dalam ceritera, menitik, mengalir air mata Siti. Bila alur ceritera kebahagian tiba, titik air matapun tetap membasahi pipinya.

“Tuhanku.. Berilah Emak panjang umur, bahagia dan selalu dalam lindungan-Mu Tuhan,” ujar Siti dalam hati sembari menghela nafas.

Benar-benar sebuah kisah perjalanan panjang yang dirangkum menjadi beberapa goretan puluh lembar saja. Hanya Emak dan Tuhan saja yang tahu hakekat dari torehan Emak itu.

Apa maksud dan tujuan tulisan Emak, Siti hanya dapat menerka dalam benaknya. Sesuai khayal yang terlintas tanpa dasar. Hanya Emak dan Tuhan saja yang tahu, untuk apa goretan tangan indah yang diajarkan ala guru tulis menulis Tahun 50-an lampau itu diabadikan.

Siti tampak lupa akan rencana awal untuk mencari secarik kain rombeng. Akumulasi ceritera pendek membuat Siti duduk bersila bak pendekar menanti lawan.

“Sebuah cerita hidup yang kenyataannya sulit untuk dilukiskan dengan netral. Kepentingan pribadi akan selalu serta tanpa terasa meminta peran. Tak mudah bijak pada ceritera hidup, meskipun itu terikat pada metodologi yang sudah terpatri,” sebuah tulisan yang tak terbaca oleh Siti, terpampang di sudut sampul buku.

Perjalanan Hidup

Emak merupakan sosok wanita penghuni surga dimata para anaknya. Sosok tabah dan pasrah mencari keridho-an Tuhan Pencipta Alam. Langkah, tuturnya selalu tegas dan ikhlas saat dikatakan salah.

Pituah ikhlas selalu terngiang dibenak Siti dan adik-adiknya. Apakah keikhlasan itu ada korelasinya dengan torehan pena Emak yang cukup banyak lembarannya itu?

“Ah sudahlah.. Anggap saja tidak ada hubungan. Mungkin bila aku sudah uzur nanti akan begini juga nggak ya?” lamun Siti dan segera beranjak keluar kamar menuju ruang tengah.

“Ngapain kamu?” tegur Ayah yang mengagetkan Siti. “Eh Ayah nih ngejut-ngejut aja”.

Entah mengapa hari itu tidak seperti biasanya, Ayah  memangil Siti untuk duduk di sofa. Muka Ayah tampak sendu.

“Siti.. duduk sini sebentar”.

“Iya Ayah”, jawab Siti kagok, karena ini baru kali pertama Ayah bertindak formal.

Sembari menengadah kebubungan rumah, ayah panjang lebar bercerita soal Emak. Karakter Emak itu kata Ayah, berubah karena kekesalan yang amat sangat, akibat kelakuan Ayah yang kasar dan pernah mengkhianati perkawinan.

“Kekesalan membuat tekanan. Tinggal lagi bagaimana seseorang menyikapi tekanan hidup itu sendiri. Bila disikapi dengan cara-cara agamis, maka salah satu hasilnya adalah ikhlas. Bila tidak, maka dendam kesumat akan menguasai diri kita,” jelas Ayah tebatah-batah. Siti hanya terdiam.

Sembari memegang kepala Siti, Ayah  juga mengatakan kalau dia tahu apa yang dilakukan Siti dikamar saat baca catatan Emak.

“Semua apa yang kamu alami, Ayah sadar akan berdampak pada kehidupan kamu. Meskipun kini kamu sudah berumur dan belum menemukan jodoh, tapi bila kamu menemukan jodoh nanti, jadikan apa yang kamu lihat, kamu dengar dan alami sendiri, jadikanlah sebagai pelajaran yang terbaik. Sebab apa yang terjadi ini bukan kebetulan, tapi semuanya ketentuan dari Tuhan”.

“Eh.. Tapi Kamu sudah ada lelaki pilihan?”

“Be.. Belum Ayah”.

Ayah sempat terdiam sejenak. “Sabar dan berdoa ya nak,” bujuk Ayah dengan mata berkaca-kaca. Siti segera beranjak dari sofa dengan alasan ingin ke dapur melihat nasi yang tadi dimasaknya.

“Hari ini aku merasakan, melihat kecewa dan bahagia yang sama-sama menitikkan air mata. Semuanya itu masuk dalam satu kata, bahagia.” fikir Siti.

Sambil menyusun kayu bakar, Siti berfikir dengan keterbatasan pendidikan yang sempat dikecapnya. Bahagia itu kesimpulan dalam fikirnya, tidak mungkin petak, somplak atau tidak utuh. Kebahagian itu wujudnya harus bulat.

“Bila kita bahagia, orang lain juga harus bahagia. Bila kita bahagia, tapi masih ada yang tersakiti dari kebahagiaan itu, maka itu bukanlah kebahagiaan,” fikir Siti sembari kepalanya terangguk-angguk seperti mendapatkan sebuah ilham.

Hari ini, raut muka Siti tampak berbinar-binar. Kini dia mendapat kesimpulan dari pembelajaran hidup. Dan hari ini juga dirinya tahu kalau seorang perempuan disakiti pria itu, tidak sertamerta membuat pria itu bahagia.

“Bahagia itu bulaaaat,” teriak Siti mengagetkan orang sekitar rumah.

Cerpen: Benny Hakim Benardie. Cerpenis tinggal di Bengkulu Kota

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.