Rubaiyat Maulana Rumi

(1)

Wahai malam, kau senantiasa bahagia.

Maka kami pun datang dengan gembira, dengan gembira.

Semoga Allah memberimu umur hingga hari kiamat.

Dalam hatiku ada api yang menyala dari keindahan Kekasih.

Wahai duka, jika kau punya nyali datanglah ke mari.

(2)

Duh, wahai musafir, ke mana kau hendak pergi? Ke mana?

Ke manapun kau pergi kau tetap bersemayam di hati kami.

Betapa sangat besar kegundahanmu lantaran perpisahan

sebagaimana kegundahan ikan yang terpisah dari lautan.

Karena itu, bibirmu yang kering menebarkan mutiara lautan.

(4)

Moga Allah menjadikan suaramu berkelindan dengan hati kami.

Moga Allah menjadikan suaramu gembira

dan bersenandung pada malam dan siang hari.

Andai suaramu jadi lemah, maka kami pun akan sakit.

Moga Allah menjadikan suaramu manis

sebagaimana seruling yang melengking buat si manis.

(6)

Kalau umur ini habis, Allah akan anugrahkan umur yang lain.

Jika umur kefanaan lenyap, di sana ada umur keabadian.

Cinta adalah air kehidupan, masuklah kau dalam genangan ini.

Setiap tetes darinya adalah samudra kehidupan tersendiri.

(7)

Aduh, sungguh waktu telah berlalu, semantara kami para pecinta

berada di samudra yang pantainya tidak kelihatan.

Hanya ada perahu, malam dan mendung.

Kami berlayar di samudra Kebenaran dengan karunia dan petunjukNya.

(9)

Api cinta ini membuat kami matang.

Setiap malam ia menarikku menuju reruntuhan dunia.

Meletakkan kami bersama mereka

agar siapa pun tidak mengenal kami selain mereka.

(10)

Wahai angin dinari! Kisahkanlah pada kami

adakah di jalan kau lihat hati yang menyala?

Adakah kau lihat hati yang kebak dengan api, kebak dengan cinta?

Sungguh api cinta telah melumat 1000 batu cadas.

(11)

Wahai tuan, kau tidak melihat kami dalam mimpi.

Kau tak akan melihat kami sekali lagi hingga tahun depan.

Wahai malam, manakala kau pandang kami

kau tak akan sanggup tanpa cahaya bulan.

(12)

Wahai engkau, di mana rembulan tak sanggup menembus debumu.

Di sana ada hadiah-hadiah dari rembulanmu untuk mereka yang mengarungi malam.

Sungguh, meski ujung awan itu berwajah merah,

ia akan takluk di depan wajahmu yang pucat.

(13)

Dalam hidup ini, kami tak melihat kebunmu.

Kami tak melihat matamu yang narsis yang menyebabkan pening.

Sebagaimana ketulusan, kau sembunyi dari manusia.

Kami tak pernah melihat wjahmu sejak masa yang silam.

(14)

Wahai kekasih, kami adalah kawan-kawanmu dalam cinta.

Manakala kau langkahkan kaki, kamilah bumi tempat kau berpijak.

Bagaimana mungkin dalam mazhab cinta

kami melihat semesta lantaran engkau tapi kami tak menemukanmu?

(15)

Selama beberapa waktu kupilih diriku sebagai pemamah.

Kudengarkan namaku tapi tak bisa kulihat diriku.

Aku sibuk dengan diriku tapi aku tak berhak terhadap diriku.

Ketika aku keluar dari diriku justru kutemukan diriku.

(16)

Suatu ketika kukatakan: “Aku pemimpin nafsu.”

Di saat yang lain aku menjerit: “Aku adalah tawanan nafsu.”

Hal itu telah berlalu, sejak kini aku tak akan menghadap nafsuku.

Kini kumulai sikap rendah hati.

(17)

Kuletakkan hatiku di lorong bencana

dan kulepas kebebasan hatiku demi kau semata.

Hari ini wangimu datang kepadaku bersama angin.

Maka kuberikan diriku pada angin sebagai tanda gembira.

(18)

Itulah yang membuatku terlarang untuk tidur.

Dia menginginkan mihrabku basah dengan airmata.

Dengan diam-diam Dia mencengkram dan melemparkan aku ke dalam air.

Itulah air yang telah menjadikan lezat airku.

(21)

Kisah manusia menjadikanku bertepuk tangan,

menjadikanku tanpa ketenangan, tanpa akal, tanpa ruh.

Hati cinta telah merubah hatiku.

Segala bentuk yang dikehendaki, jadilah ia pada diriku.

(22)

Kukatakan: “Siapa yang telah mengangkat ruhku?”

Dialah yang telah memberikan ruh kepadaku di awal mula.

Suatu ketika Dia mengunci kedua mataku seperti rajawali.

Di saat yang lain Dia membuka mataku untuk berburu seperti rajawali.

(23)

Tak ada yang menyelamatkanku selain cinta.

Tak di awal, tak pula di akhir, tak pula di permulaan.

Ruh memanggilku dari dalam:

“Wahai pemalas di lorong cinta, tebuslah aku!”

(24)

La haula wa la…” sangat berguna menangkal gundah

yang dipanahkan setan pada ruh manusia.

Setan jadi gundah oleh kalimat “La haula wa la…”

Dan kegundahan itu semakin menimbun pikirannya.

(25)

Waspadalah hai hati, jangan kau berikan jalan gundah ke hatimu.

Di dunia ini, jangan kau pilih persahabatan dengan orang-orang asing.

Jika kau terima sedikit ketumbar dan adonan roti,

maka janganlah kau timbang ketumbar itu dengan kegagahan semesta.

(26)

Demi penyesatan di malam kesendirian

seorang pecinta sering menggambar jalan dengan gemintang

yang tak diketahui seorang pun selainnya.

Karena sungguh bagi seorang pecinta di malam persandingan

terdapat kesulitan yang susah dijangkau penglihatan manusia.

(27)

Aku setitik debu, dan perjumpaan denganmu adalah matahari.

Aku sakit dirundung gundah, dan kau adalah sumber obatku.

Aku terbang di belakangmu tanpa sayap, tanpa bulu.

Sungguh aku adalah jerami, dan kau lampu bagiku.

(28)

Wahai airmata yang deras, katakan bagi cintaku

yang tak lain adalah kebun, musim semi dan tempat rekreasiku:

“Saat malam hari kau teringat padaku,

janganlah kau berpikir tentang aneka ragam kelancanganku.”

(29)

Puasa ini seperti ayakan yang menyucikan ruh.

Ia menampakkan lipatan yang tersembunyi.

Gelas yang membuat cerlang rembulan jadi kelam

telah tersingkap: ia anugrahkan cahaya pada langit demi langit.

(30)

Sumber kalam yang memberikan ruh pada ruh,

juga anugrahkan bagi ruh ketiadaan warna.

Ia menyuburkan cahaya iman dengan minyak.

Sering kami katakan, tapi tak kami ungkapkan hal itu.

(31)

Wahai dermawan, infakkanlah mutiara dan permatamu

karena tiada jalan bagi mereka yang kikir.

Jisim membuka mulutnya bagai kulit kerang dengan berkata:

“Bagaimana bisa tertampung bagiku Dia yang tak tertanggung bagi ruh?”

(32)

Di kedalamanmu ada ruh, selamilah ruh itu.

Di bukit jasadmu ada mutiara, selamilah tambangnya.

Oh sufi yang menempuh jalan, jika kau bahas tentang hal itu,

jangan kau fokus pada apapun di luar dirimu, ia ada di dalam.

(33)

Waktu berlalu, tapi tak ada kepuasan bagi mereka yang tamak.

Kecuali bagi orang-orang yang berpaling dari mereka.

Tak ada siang, malam dan subuh bagi si pemberani.

Apakah arti srigala, kambing dan domba bagi harimau?

(34)

Kau tak melihat mereka yang hina di atas debu.

Kau tak melihat para penghuni Jahannam dari jauh.

Lalu kenapa kau mengaku menggenggam cinta para kekasih?

Cinta macam apa yang dimiliki para cerdik pandai?

(35)

Pandanglah dengan kedua matamu dua mata si tercinta itu.

Dengarkan baik-baik tamsil yang tak tertandingi ini:

Setiap darah yang dialirkan oleh matanya yang narsis,

pandanglah bahwa ia tercurah dari kedua mataku.

(36)

Apakah duka itu hingga kami selalu mengenangnya?

Seberapa harganya hingga kami menyimpannya dalam hati?

Kami mesti menggoreskannya di atas debu.

Duka adalah buah badam yang tak ada isinya.

Jika ia tak menyerah, kami keluarkan isinya.

(37)

Aku menggapai kekasihku yang berperangai indah.

Banjir yang keruh tak akan mencemari sungai itu.

Ia tak membuhul hari jadi kerut-merut di alisnya

dan aku akan mengabadikannya bagi kematian dan kehidupanku.

(38)

Waktu melipat perbincangan ini.

Srigala kefanaan mencabik kawanan domba ini.

Di kepala setiap manusia ada tipudaya.

Tapi pukulan ajal menampar segalanya.

(39)

Ada tongkat menakjubkan untuk Musa ummat ini.

Ketika ia lemparkan, tongkat itu menelan semuanya.

Ia tak membiarkan satu pun pesta maupun peperangan

dan setiap akal tak sanggup memahami gemuruh ini.

(41)

Wahai engkau yang memberi mutiara iman dengan sepotong roti,

kau berikan pada tambang itu sesuatu yang remeh.

Karena Namrud tak menyerahkan hati pada Ibrahim,

sungguh telah ia serahkan ruhnya hanya pada seekor nyamuk.

(42)

Wahai kemurahan hati yang anggun, angin musim gugur tak menyentuhmu.

Wahai mata dunia, mata kedengkian tak pernah menimpamu.

Wahai engkau yang merupakan ruh langit dan bumi,

tak ada yang menyapamu selain rahmat dan ketentraman ruh.

(43)

Wahai hati, sungguh asap hati kami adalah tanda cinta.

Wahai hati, sungguh asap yang di hati itu teramat nyata.

Wahai hati, setiap ombak darah berpesta pora dalam hati.

Barangkali itu memang bukan hati, tapi samudra.

(44)

Selama rupa dari bayang kekasih bersama kami wahai hati,

maka seluruh umur kami jadi kegembiraan dan rekreasi wahai hati.

Ketika kau dapatkan idamanmu wahai hati,

maka setiap duri lebih baik ketimbang 1000 kurma wahai hati.

(48)

Karena Allah telah menetapkan perpisahan kami dengan sigap,

kenapa kami terlarang berkecamuk dan murung?

Jika aku buruk, kau bebas dari keguncanganku.

Jika aku baik, kau bisa mengenang persahabatan denganku.

(49)

Cinta adalah lorong dan jalan utusan kami.

Kami adalah anak-anak cinta dan cinta adalah ibu kami.

O sungguh menakjubkan, ibu kami sembunyi di kemah kami.

Ia bersembunyi dari tabiat kami yang ingkar.

 

Diterjemahkan oleh Kuswaidi Syafi’ie dari Kitab Ruba’iyyat (Damaskus, Dar al-Fikr, 2004) karya Maulana Jalaluddin Rumi (w. 672 H), sebuah antologi puisi yang terdiri dari 1983 bait. Kitab ini semula termaktub pada bagian akhir dari Diwan Syamsi Tabrizi.

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.