Opini: Benny Hakim Benardie
Filosof terkemuka, Aristoteles mengatakan, politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, antara lain: Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama.
Hal itu salah satu pendapat dan mungkin saja beda pendapat dengan filosof lainnya. Tak pula penting apakah para politisi ‘zaman now’ saat ini paham pengertian politik secara etimologi ataukah terminologinya. Pada realitasnya, banyak politisi instan hanya tahu rasanya berpolitik saja. “Dapat dipahami, bila mereka tak mengetahui bentuk, maka sifat politiklah yang dijadkan acuan dalam berpolitik praktis.
Pertanyaannya apakah dalam berpolitik, politisi partai komitmen, loyal, taklid terhadap kelompok atau partainya? Ini mengingat sejak Era Orde Baru bercokol, trend menjadi ovonturir yang bahasa prokemnya ‘kutu loncat’ acap dilakukan hingga kini Tahun 2018. Aksi ovonturir itu secara hukum dan politik tentunya merupakan langkah kewajaran sebagai hak kemanusiaan. Lantas kalau itu wajar, masalahnya dimana?
Ternyata masalahnya ada pada kepatutan, kesopanan dan kesusilaan. Ini pendapat penulis. Ada benarnya bila ovonturir yang diartikan sebagai pengelana, pengembara, penjelajah, petualang. Hanya saja, tidak sependapat bila menyamaratakan obyek ovonturir atau ‘kutu loncat’. Soalnya berbeda pengembara dengan petualang dalam sifatnya. Pengembara itu orang yang melakukan perjalanan hidup bermulai dengan modal materi yang ada. Tidak bagi petualang.
Pragmatis
Penulis berpendapat, ovonturir atau ‘kutu loncat’ orang yang suka mengembara. Sosok politisi yang melakukan ini secara psikososial merupakan sosok yang memiliki kepribadian ganda. Ironisnya, bila politisi itu berada dalam kelompok atau partai idiologis. Politisi ovonturir cenderung melakukan pengkhianatan terhadap sebuah kesepakatan dan baru akan komit bila dan selagi kepuasannya tercapai. Pragmatiskan!
Bila itu adanya, tindakan ovonturir atau ‘kutu loncat’ ini dapat dibenarkan, dimaklumi jika dilakukan dalam partai yang berlandaskan sosilogis? Tentunya bisa, meskipun predikat atau stigma tidak beradat dapat dikenakan. Meskipun politisi itu beranggapan, bahwa politik itu bicara kepentingan. Sisi lain ada kelempok skeptisme yang berangapan. “Inikan hanya urusan dan permainan dunia saja. Politik bicara kepentingan pribadi baru kelompok, bukan sebaliknya”.
Para idealis tentunya merasa ‘rengam’ dan geram akan tindakan ovonturir politik ini. Kehadirannya membuat politisi idialis terganggu kenyamanannya. Kehadirannya yang ingin instan merebut kursi kekuasaan dan ikutan Nyaleg pada musim Pileg. tentunya menyakitkan bagi para politisi senior yang sensitif.
Karakter politisi ‘kutu loncat’ yang sudah biasa berpindah partai sangat khas. Harapan duduk dikursi legislatif merupakan langkah awal membuat efek domino. Bila tak terpilih dilegislatif, maka kursi jabatan partai menjadi prioritas sebelum kemungkinan hengkang kembali.
Tentunya dalam menghadapi ‘kutu loncat’ ini, penulis berkeyakinan senior partai tidak selugu yang diperkirakan. Noda karakter yang kemungkinan akan tertular akan terbaca, dibanting perusuh interen partai yang ada. Noda akan ditular atau tertular pada anggota partai lainnya pada tataran kader bawah dan simpatisan aktif, untuk kepentingan pribadinya.
Pertanyaan lainnya adalah, apakah ovonturir atau ‘kutu loncat’ itu merupakan ancaman serius? Rasanya bagi kader partai yang militan dan mempuni dalam berpolitik, hal tersebut bukan ancaman yang serius.
Penulis Jurnaslis tinggal di Bengkulu