Fatmawati Sosok Kartini dari Bumi Raflesia (Part 1 dari 2 tulisan)
“Datang ke Mekah sudah menjadi pendaman cita-citaku. Saban hari aku melakukan zikir dan mengucapkan syahadat serta memohon supaya diberi kekuatan mendekat kepada Allah. Juga memohon supaya diberi oleh Tuhan, keberanian dan melanjutkan perjuangan fi sabilillah. Aku berdoa untuk cita-cita seperti semula, yaitu cita-cita Indonesia Merdeka. Jangan sampai terbang Indonesia Merdeka.” (First Lady Fatmawati)
Fatmawati merupakan sosok Ibu Negara pertama (First lady) Republik Indonesia, dan merupakan inspirator kaum perempuan Indonesia. Seperti halnya Raden Ajeng Kartini, yang menjadi pelopor perubahan emansipasi perempuan, dimana kaumnya musti mendapatkan peran dalam sejumlah kegiatan usaha. Berhak dalam politik maupun persamaan derajat dengan kaum pria. Tentunya hal itu tidak meninggalkan kodratnya sebagai seorang isteri dan ibu dari anak-anaknya.
Fatmawati Soekarno, begitulah tutur masyarakat dunia saat menyebut perempuan bernama asli Fatimah, yang lahir di Kota Bengkulu, 5 Februari 1923 silam. Sebagai isteri proklamator dan Presiden RI pertama, Fatmawati yang dinikahi Soekarno secara wali pada 1 Juni 1943 itu, selalu menampilkan perannya sebagai seorang isteri , meskipun dalam keadaan pelik. Sosok kuat tegar dalam berpartisipasi menuju kemerdekaan Indonensia itu sudah ditunjukan oleh Fatmawati hingga akhir hayatnya.
Saat jelang kemerdekaan, Fatmawati putri tunggal pasangan Hasan Din dan Siti Chadijah ini berinisiatif menjahit Bendera Pusaka Merah Putih untuk dikibarkan pada saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta, pada tanggal 17 Agustus 1945.
Sebagai seorang ibu dari lima buah hatinya Guntur Soekarno Putra. Megawati Soekarno Putri, Eachmawati Soekarno Putri, Sukmawati Soekarno Putri, Guruh Soekarno Putra, Fatmawati selalu aktif dalam berbagai kegiatan sosial, termasuk ikut mendampingi suaminya dalam berbagai kegiatan, kunjungan kenegaraan, untuk kemajuan bangsa dan Negara Republik Indonesia.
Dalam kehidupan kesehariannya, Fatmawati kecil yang didik dilingkungan agamis orang tuanya hidup berpegang teguh pada prinsip hidup, tegas dan bijaksana dalam mengambil keputusan. Tidak hanya itu, ia juga mengayomi serta perpenampilan sederhana layaknya wanita Indonesia bersahaja, meskipun ayahnya Hasan Din kala itu merupakan seorang pengusaha dan tokoh Pergerakan Muhammadiyah.
Sikap dan tindak itu selalu ditampakannya, meskipun dirinya telah menjadi Ibu Negara hingga akhir hayatya tanggal 14 Mei 1980. Fatmawati meninggalkan berbagai pengajaran dan pesan untuk perempuan Indonesia. Ibu Negara ini pergi di usia 57 Tahun,dan dimakamkan di pemakaman umum Karet Bivak Jakarta.
Partisipasi Dalam Berjuang
Setelah menikah secara wali, Fatmawati segera berangkat ke Jakarta. Tidak sekedar memenuhi kewajibannya sebagai istri Proklamator Bung Karno, pemimpin pejuang rakyat Indonesia, tetapi gadis Bengkulu ini juga aktif bergabung bersama para tokoh pejuang nasional lainnya, untuk mengapai Indonesia Merdeka dan melepaskan diri dari penindasan para penjajah.
Dalam pergulatan politiknya, Bung Karno selaku tokoh dan pemimpin pejuangan, sering meminta pendapat maupun pertimbangan kepada Fatmawati, termasuk mengenai langkah-langkah perjuangannya. Suatu ketika Ibu Fatmawati ikut hadir pada Sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia). Saat usai menyaksikan pidato Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945 (Kini dikenal sebagai hari lahirnya Pancasila), secara reflektif Fatmawati memprediksikan angannya: “Inilah nantinya yang akan diterima oleh majelis, dan serasa seakan Indonesia Merdeka pada hari itu sudah terwujud”.
Di tengah gejolaknya api revolusi, menjelang kemerdekaan di tanggal 15 Agustus 1945, saat sekelompok pemuda pejuang bangsa yang tergabung dalam barisan PETA, memaksa Bung Karno dan Bung Hatta untuk segera meninggalkan kota Jakarta menuju ke Rengasdengklok. Fatmawati dalam situasi kritis itu tampak tegar sembari menggendong anak pertamanya Moh Guntur yang masih bayi. Segera mengayunkan langkah juangnya mengikuti kedua tokoh pejuang bangsa bersama beberapa anggota PETA menuju Rengasdengklok.
Catatan dari berbagai sumber.