Upaya Pemerintah Menata Birokrasi yang Berkeadaban

Oleh:   Handiro Efriawan, M.Si

Tahapan seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) sudah bergulir secara dinamis. Ribuan calon peserta, bahkan jutaan secara nasional telah mengisi daftar kepesertaan seleksi dan mempersiapkan diri untuk maksimal berkompetisi.

Peserta merupakan bagian dari masyarakat, yang berharap bisa turut serta dalam upaya pembangunan daerah melalui jalur birokrasi. Sebagian merupakan fresh graduate (Millenial). Selebihnya tampak diisi oleh orang-orang yang punya  berkesempatan,  untuk turut serta menjalani proses seleksi. Karena pertimbangan belum lulus pada seleksi sebelumnya, dan atau mungkin masyarakat berprofesi lain, yang akhirnya mempertimbangkan untuk mengabdi sebagai seorang calon birokrat.

Informasi dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) menyebutkan,  jumlah total pelamar akhir pada sistem seleksi CPNS Tahun 2018, secara nasional sebanyak 4.436.694 akun (Orang). Sedangkan yang menyelesaikan tahapan pendaftaran sebanyak 3.627.981 akun. Jumlah ini memang less expected dari yang diperkirakan sebelumnya, yakni antara 6-8 juta pelamar.

Di Provinsi Bengkulu ada 5.453 CPNS mengikuti tahapan Seleksi Kompetensi Dasar dengan Sistem Computer Assisted Test (CAT) berbasis online. Untuk menentukan perangkingan hasil kompetensi para peserta. Sedangkan untuk kelulusannya, tidak sertamerta kemudian ditetapkan sesuai dengan kuota formasi yang dicadangkan. Akan tetapi secara nasional, ditentukan berdasarkan passing grade, ambang batas nilai kelulusan.

Landasan kebijakan yang menentukan nilai ambang batas tersebut,  tersiar secara resmi melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), yang telah mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 37 Tahun 2018 tentang Nilai Ambang Batas Seleksi Kompetensi Dasar Pengadaan CPNS Tahun 2018.

Dalam peraturan tersebut,  pada pasal 2 dan pasal 3 dijelaskan jenis test dan nilai ambang batas yang ditetapkan dalam seleksi CPNS Tahun 2018. Adapun Tes Kompetensi Dasar (TKD) meliputi : 1) Test Karakteristik Pribadi (TKP), dengan nilai ambang batas 143, selanjutnya 2) Test Intelegensia Umum (TIU), dengan nilai ambang batas 80.  3) Test Wawasan Kebangsaan, dengan nilai ambang batas 75.

Niat dari penetapan ambang batas tersebut,  memiliki landasan yang baik dalam kerangka menyiapkan calon birokrat yang qualified,  sesuai dengan semangat reformasi birokrasi. Diharapkan akan mampu menghasilkan CPNS yang ideal. Namun tentunya kebijakan penentuan passing grade, bukanlah sesuatu yang kaku (Statis). Akan tetapi juga berdasarkan pertimbangan rasional, sekaligus proporsional, tanpa mengabaikan profesionalisme yang dimaksudkan dalam kebijakan reformasi birokrasi tersebut.

Karena, apabila diterapkan secara sporadis dan sertamerta, banyak daerah yang belum mampu untuk berkompetisi dengan standar nasional. Seperti yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.

Faktor Sosiologis

Telaah kritis dari realitas yang muncul kepermukaan, dalam proses seleksi CPNS ini menunjukkan fakta bahwa, setidaknya ada beberapa faktor yang turut memberikan pengaruh. Baik secara psikis ataupun sosiologis. Secara psikis, terkait mindset yang kemudian ditunjang dengan keterbatasan akses informasi serta fasilitas tekhnologi informasi. Beberapa calon peserta barangkali masih belum familiar dengan sistem seleksi yang diterapkan (Gagap tekhnologi).

Bisa jadi secara personal, para calon sebenarnya mampu memberikan solusi dari setiap soal ujian yang dihadapi. Tapi karena kemampuan mengoperasikan komputer yang masih terbatas, mengakibatkan belum mampu secara efektif dan efisien, dalam menyelaraskan jumlah waktu dengan jumlah soal test yang tersedia.

Begitupun secara sosiologis. Bisa jadi faktor lingkungan turut berperan dalam kesiapan calon peserta test. Terutama bagi kelompok millenial. Misalnya, belum terserapnya secara utuh sosialisasi, bahkan mulai dari persyaratan administrasi, aturan/kebijakan terkait situasi test serta kebijakan penetapan passing grade, dalam proses seleksi yang dihadapi. Karena faktor wilayah dengan keterbatasan fasilitas layanan informasi. Kondisi ini menjadi wajar, karena rentang waktu dari proses pemberkasan/pendaftaran hingga jadwal berlangsungnya test, sangat terbatas. Sehingga para calon peserta belum mempersiapkan diri secara maksimal.

Ini sesuatu yang lumrah. Terutama bagi para peserta yang baru mengikuti test perdana. Mengutip pernyataan dari Kepala Biro Humas BKN Muhammad Ridwan, bahwa salah satu faktor penyebab banyaknya kegagalan dalam mengikuti tahapan seleksi CPNS bagi kalangan millenial,  karena tingkat literasi yang masih rendah. Sedangkan untuk yang pernah mengikuti test ditahun-tahun sebelumnya,  mungkin sudah sedikit memiliki pengalaman terhadap situasi seleksi yang dihadapi. Tetapi faktor usia turut berpengaruh dalam konsentrasi, saat menjalani proses seleksi yang berjalan.

Kondisi tersebut merupakan telaah yang rasional. Sehingga asumsi dari beberapa faktor, yang kemudian menyebabkan sebanyak 5.306 peserta yang tidak terakomodir berdasarkan passing grade kelulusan di Provinsi Bengkulu,  memiliki landasan objektif. Secara bijaksana perlu difikirkan pertimbangan lain,  sebagai bahan evaluasi secara utuh dan menyeluruh sebagai solusi konkrit.

Reformasi Birokrasi

Pertimbangan untuk mengkaji ulang penerapan sistem, dengan proses yang tidak melanggar hukum, serta dilakukan secara adil dan beradab, bisa menjadi langkah bijaksana yang juga tetap harus diupayakan oleh pemerintah. Ini bukan berarti menunjukkan, bahwa pemerintah plin-plan (Tidak  konsisten) atau secara terbuka mendeklarasikan ketidakmampuan sebagian besar masyarakat di daerah, untuk berkompetisi dengan kompetensi yang dimiliki.

Mengutip penjelasan  dari laman resmi Kementerian PANRB, reformasi birokrasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan,  mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan, terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan (Organisasi), ketatalaksanaan (Business prosess) dan sumber daya manusia aparatur.

Reformasi birokrasi yang dimaksudkan,  dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (Good governance). Ini bermakna  bahwa  reformasi birokrasi sebagai langkah strategis, untuk membangun aparatur negara. Agar lebih berdaya guna dan berhasil guna,  dalam mengemban tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional.

Dengan sangat pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan komunikasi serta perubahan lingkungan strategis,  menuntut birokrasi pemerintahan untuk direformasi dan disesuaikan dengan dinamika tuntutan masyarakat. Adapun implementasinya, dilakukan dengan langkah-langkah yang bersifat mendasar, komprehensif dan sistematik. Sehingga tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dapat dicapai dengan efektif dan efisien.

Penjabaran tersebut hendaknya memberikan kepahaman secara utuh dan menyeluruh (Komprehensif) bagi semua pihak, bahwa reformasi birokrasi dimaksudkan sebagai suatu proses pembaharuan yang dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan (Sustainable). Bukan upaya atau tindakan yang bersifat radikal dan revolusioner (Sertamerta).

Inilah realitas yang harus dihadapi oleh pemerintah dan masyarakat. Secara bersama, hendaknya selalu membangun kesadaran, kesepemahaman dan sinergitas dalam upaya menata sistem. Sekaligus mempersiapkan sumberdaya manusia yang kompeten,  untuk mengisi ruang pengabdian di birokrasi. Semua butuh proses dan waktu, tidak sertamerta sekaligus, harus terwujud sesuai dengan harapan. Tidak cukup dengan ucapan Simsalabim. Namun demikian, seiring waktu, tetap harus diupayakan langkah stategis (Proses), untuk mewujudkan birokrasi yang ideal. Sesuai dengan semangat reformasi birokrasi yang menjadi harapan bersama tersebut.

Direktur Human Management Institute (HUMANIS)

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.