Covid-19 Sedang Booming, Bagaimana Dengan Kesehatan Bank?

Penulis : Elizabeth Laura Malau
Mahasiswa PKN STAN

beritaterbit.com – Data WHO mengungkapkan Corona Virus Disease 2019 telah menjangkit 8.708.008 kasus diseluruh dunia tertanggal 21 Juni 2020. Tentu virus yang ditemukan pertama kali di Kota Wuhan ini memberikan dampak yang serius terhadap Indonesia.

Akibat wabah ini, Pemerintah Indonesia telah menerapkan peraturan diantaranya WFH, PSBB, lockdown, sosial distancing, pyscial distancing yang pasti akan menghambat berjalanan perekonomian. Dalam live press conference bersama Menko Perekonomian, Menteri Keuangan, Kepala Dewan Komisioner OJK dan Kepala Dewan Komisioner LPS terkait Stimulus Ekonomi pada Rabu (01/04), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pertumbuhan ekonomi yang tumbuh sebesar 5,3% dapat berisiko turun menjadi 2,3% pada skenario terberat bahkan skenario terburuk perekonomian Indonesia bisa tumbuh hanya sebesar -0,4%. Covid-19 telah memberikan ancaman ekonomi, sosial, stabilitas sektor keuangan serta menekan lembaga keuangan contohnya bank.

UMKM adalah salah satu badan usaha yang terdampak oleh pandemi yang terjadi saat ini. Para pengusaha UMKM sebagian besar meminjam uang untuk modal usaha dari bank, tetapi karena berkurangnya interaksi di pasar serta  menurunnya konsumsi masyarakat akibat peraturan pemerintah maka UMKM mengalami penurunan profit, sehingga terjadi peningkatan dari kolektibilitas atau kredit macet oleh UMKM.
Bank pemerintah maupun bank swasta akan diprediksi mengalami permasalahan kolektibilitas yaitu peningkatan NPL (Non Performing  Loan) dimana akan ada peningkatan kredit macet dan  penarikan tabungan atau deposito besar-besaran oleh nasabah sehingga bank akan kehilangan sumber dananya dan akan mengalami persoalan likuiditas.

Dalam siaran pers (19/05) PT Bank Negara Indonesia atau BNI mengungkapkan indikasi pengaruh covid-19 terjadi peningkatan NPL dari 2,3% pada 2019 menjadi 2,4% pada 2020. Dari data tersebut terdapat peningkatan kredit kurang lancar (substandard), doubful dan kredit loss. Sehat atau tidaknya bank dapat dinilai dari kemampuan bank dalam membayar utangnya atau disebut dengan likuiditas. Perhitungan likuiditas dapat dihitung menggunakan Loan Deposit Ratio (LDR) dengan membagikan total utang terhadap total deposit.

Meskipun pandemi telah membatasi transaksi nasabah ke bank, dikuartal I 2020 BNI berhasil memperoleh LDR sebesar 92,3%. BNI dapat mempertahankan likuiditasnya setelah mendapat tambahan likuiditas sebesar 2-2,5 triliun. Tambahan likuditas diberikan untuk mengantisipasi pandemi Covid-19 yang sudah berdampak ke sektor riil.

Untuk meringankan peningkatan macet,  BNI berkebijakan untuk menurunkan bunga kartu kredit. Kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi beban para nasabah yang pekerjaannya terhambat akibat pandemi ini. Penurunan bunga kartu kredit ini tentu akan mempengaruhi pendapatan profit bank. Laba yang didapatkan akan menurun sebesar bunga kredit yang diturunkan.
Dari sisi profitabilitas kesehatan bank dinilai dari earnings (rentabilitas) bagaimana  kemampuannya memperoleh pendapatan berupa laba, diukur menggunakan rasio Return on Asset (ROA) dengan membandingkan laba bersih yang dicapai dengan total aktiva yang dimiliki bank.

Dari data laporan dari OJK, BNI memperoleh ROA di bulan februari 2019 sebesar 0,29% dan ROA dibulan februari 2020 sebesar 3,3%. Peningkatan ROA ini menggambarkan bahwa BNI dapat mempertahankan bahkan meningkatkan laba bersihnya. Alasan laba  BNI tidak turun meskipun terdapat penurunan bunga kartu kredit ini,  disebabkan karena penurunan bunga kartu kredit terjadi di bulan mei, sehingga di neraca bulan februari belum mengalami penurunan profitabilitas.

Dilansir dari siaran pers BNI,  pertumbuhan pendapatan bunga bersih atau net interest margin (NIM) sebesar Rp 9,54 triliun atau meningkat 7,7% dibanding periode yang sama tahun 2019 sebesar Rp 8,86 triliun. Peningkatan NIM didapat dari  pendapatan bunga dikurang beban bunga. Banyak bank menginginkan NIM yang tinggi karena sumber keuntungan terbesar bank adalah dari spread based atau bunga yang didapat dari pemberian pinjaman maka bank mendapatkan profit yang besar jika NIM yang diperoleh besar. Namun, NIM yang tinggi sebenarnya tidak efesien dan memiliki risiko yang tinggi.

Apalagi di masa pandemi sekarang banyak sektor usaha kuliner, hotel, pariwisata yang tutup sehingga akan meningkatkan risiko kredit macet. Manajemen juga menjadi penilaian apakah bank sehat atau tidak dengan mengukur secara kuantitatif maupun secara kualitatif yaitu mengarah kepada bagaimana bank memperoleh labanya.

Secara kuantitatif manajemen dihitung menggunakan Net Profit Margin (NPM) yaitu dengan membagikan laba bersih dibagi pendapatan operasional. Dihimpun dari laporan OJK sebelum mewabahnya covid-19, BNI memperoleh NPM di bulan Februari 2019 sebesar 0,978 dan setelah wewabahnya covid-19 NPM dibulan Februari 2020 sebesar 0,998. Semakin besar nilai NPM atau mendekati 1 menandakan biaya yang dikeluarkan semakin efisien. Dari analisis tesebut bank masih bisa mempertahankan kemampuan manajemen, meskipun dimasa pandemi. Hal ini mungkin terjadi karena disaat bulan februari 2020 wabah covid-19 ini belum se-booming sekarang, dan belum ada penetapan aturan PSBB dimasa itu sehingga badan usaha masih berjalan seperti biasanya.

Sensitivity merupakan aspek penilaian kesehatan bank. Sensitivitas yang diberlakukan BI sejak 2004 ini menilai bank dalam melepaskan kredit dengan tidak hanya memperhatikan perolehan laba tapi memperhatikan risiko yang akan dihadapi pula,  baik risiko lingkungan, risiko manajemen, risiko penyerahan dan risiko keuangan. Untuk mengurangi risiko, bank dapat mempertimbangkan prinsip pemberian kredit. Prinsip ini dikenal 6C dan 7P. Yang dimaksud 6C adalah character, capacity, capital, collater, condition, dan constraint dan yang 7P adalah personality, party, purpose, prospect, payment, profitability, dan protection.

Prinsip tersebut memiliki level yang sama dan harus memperhatikan segala aspek. Namun, keadaan sekarang memaksa bank untuk lebih memperhatikan condition, karena kondisi pandemi ini telah menggoncang politik, ekonomi, sosial dan budaya sehingga akan mempengaruhi kelancaran badan usaha atau perusahaan calon debitur.

Jika usaha calon debitur sangat rentan terhadap kondisi saat ini, bank seharusnya tidak memberikan kredit.
Aset quality juga merupakan salah satu penilaian kesehatan bank dengan membandingkan antara aktiva produktif yang diklasifikasikan terhadap total aktiva produktif.  Aset Quality digambarkan melalui Rasio KAP.

Berdasarkan laporan OJK, total aset BNI tumbuh sebesar 9,7% dari februari 2019 ke februari 2020. Capital adequancy merupakan indikator kesehatan bank pula, apakah bank memenuhi CAR yang ditetapkan BI. Dikutip dari cbnciindonesia, CAR BNI turun menjadi 16,1% dari periode sebelumnya 19,2%, sedangkan CAR yang ditetapkan BI 2020 adalah 23,3%.

Meskipun bank mendapat ancaman dari wabah pandemi ini. BNI dapat mengatasi masalah likuditasnya dengan bantuan tambahan dana likuiditas. Bank juga dapat mempertahankan kesehatan bank dari sisi manajemen, aset quality dan profitabilitas. Namun, BNI tidak dapat memenuhi syarat CAR yang ditetapkan BI, oleh karena itu BNI perlu meningkatkan modal atau menurunkan aktiva tertimbang menurut risiko. Serta OJK dapat membantu BI dan pemerintah memantau pengaruh penyebaran covid-19 terhadap stabilitas perekonomian sehingga dapat melakukan kebijakan sebelum bank mengalami kesulitan likuiditas.

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.